
PRODUKSI TERNAK PERAH
![]() |
Disusun oleh :
KELOMPOK : III
PROGRAM STUDI S-1 PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG


TERNAK PERAH
Kelompok / Kelas :
TIGA / A
Program Studi / Jurusan : S-1 PETERNAKAN / PETERNAKAN
Fakultas : PETERNAKAN
DAN PERTANIAN
Tanggal Pengesahan : MEI 2015
Menyetujui,
Koordinatur Umum Asisten
Andri Wibowo, S.Pt.
NIM. 23010111120026
|
Asisten Pembimbing
Syahrizal Bobi Kurniawan
NIM. 23010112140282
|
Mengetahui,
drh. Dian Wahyu Harjanti,
Ph.D. NIP. 19801214 200501 1 001
|
![]() |
KATA PENGANTAR
Sapi perah merupakan ternak penghasil susu yang dapat
dimanfaatkan oleh manusia. Produktivitas sapi perah dipengaruhi oleh beberapa
aspek. Pakan yang baik akan meningkatkan produktivitasnya, selain itu
lingkungan dalam dan luar kandang yang nyaman akan mendukung peningkatan produksi
sapi perah. Lingkungan dalam dan luar kandang dapat diketahui dengan mengukur
suhu, kelembapan dan radiasi matahari. Perubahan lingkungan mampu mempengarui perubahan fisiologis ternak
berupa suhu tubuh, frekuensi nafas, frekuensi denyut nadi, frekuensi urinasi,
frekuensi defekasi dan tingkat konsumsi air minum. Sapi perah akan memiliki
produksi yang berkualitas tinggi apabila berada pada keadaan yang nyaman.
Kualitas susu dapat dilihat dari berat jenis yang terkandung di dalamnya.
Puji Tuhan yang
Maha Kuasa, karena dengan rahmat dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan
laporan praktikum produksi ternak perah. Kami mengucapkan terima kasih kepada
Ir. Teguh Hari Suprayogi, M.Si., selaku dosen pengampu mata kuliah produksi
ternak perah yang telah memberikan materi sebagai pedoman bagi kami dalam
melaksakan praktikum ini. Andri Wibowo,
S.Pt., selaku koordinator umum asisten dan Syahrizal Bobi Kurniawan selaku
asistan pembimbing yang telah membimbing kami dalam pelaksanaan praktikum
maupun penyusunan laporan praktikum.


Semarang. Mei 2015
Penulis
![]() |


Kelompok III .
2015. Laporan Resmi Praktikum Produksi Ternak Perah (Asisten
: Syahrizal Bobi Kurniawan).
Praktikum Produksi Ternak Perah dengan materi Fisiologi Lingkungan, Fisiologi Ternak dan Recording dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal
18 April 2015 pukul 18.00 –
18.00 WIB di kandang sapi perah, materi Anatomi
Biologis Ambing dan Berat Jenis Susu dilaksanakan hari Rabu tanggal 22 April
2015 pukul 15.00 – 17.00 WIB di Laboratorium Produksi Ternak Potong dan Perah
Divisi Ilmu Ternak Perah, Fakultas
Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.
Materi yang digunakan adalah air, sapi perah nomer 2031, preparat awetan ambing sapi, susu segar, susu kemasan (Ultra Milk), narasumber, hygrometer, black globe temperature, meteran, termometer klinis, tisu basah,
stetoskop, stopwatch, nampan, gelas
ukur dan laktodensimeter. Hygrometer digunakan untuk mengukur suhu dan
kelembaban, black globe temperature
untuk mengukur radiasi matahari, meteran untuk mengukur kandang, termometer
klinis untuk mengukur suhu tubuh sapi, tisu basah untuk membersihkan termometer klinis,
stetoskop untuk mengukur denyut nadi sapi, stopwatch untuk mengukur waktu, nampan
untuk wadah preparat, gelas ukur untuk wadah susu dan laktodensimeter untuk
mengukur suhu dan berat jenis susu.
Berdasarkan praktikum fisiologi lingkungan diperoleh hasil bahwa suhu
dalam kandang 26,6ºC, suhu luar kandang 26,5ºC, kelembaban dalam kandang 73,9%,
kelembapan luar kandang 75,0%, radiasi matahari 388,81 kkal m-2 jam-1 dan evaluasi perkandangan sudah baik.
Fisiologi ternak diperoleh hasil suhu
tubuh 38,55ºC, denyut nadi 60 kali/menit, frekuensi nafas 36 kali/menit, jumlah
konsumsi air minum 22,1 liter, frekuensi defekasi, 11 kali/hari, dan frekuensi
urinasi 8 kali/hari. Recording sapi
perah diperoleh hasil umur sapi 4,5 tahun dikawinkan dengan inseminasi buatan
pada Februari 2014, dan sapi belum pernah terkena penyakit. Anatomi eksterior
ambing teridiri dari outer wall, medial
suspensory ligament, lateral suspensory ligament, membrane vine, bulu, dan
puting. Anatomi interior ambing terdiri dari alveoli, gland cistern, teat cistern, annular fold dan teat meatus. Setiap bagian memiliki fungsi masing-masing dalam
pembentukan susu dan proses pengeluarannya Berat jenis susu segar 1,0297 dan
susu olahan memiliki berat jenis 1,0216.
![]() |
DAFTAR ISI
Halaman
KATA
PENGANTAR............................................................................................... iii
RINGKASAN............................................................................................................. v
DAFTAR TABEL................................................................................................... viii
DAFTAR ILUSTRASI.............................................................................................. IX
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................... X
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................. 2
2.1. Sapi Perah Frisian Holstein...................................................................... 2
2.2. Fisiologi
Lingkungan Sapi Perah.............................................................. 2
2.3. Fisiologi
Ternak Sapi Perah...................................................................... 4
2.4. Anatomi
Biologis Ambing....................................................................... 8
2.5. Susu Sapi
Perah...................................................................................... 12
BAB III METODOLOGI........................................................................................... 15
3.1. Materi..................................................................................................... 15
3.2. Metode................................................................................................... 16
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................. 21
4.1. Fisiologi
Lingkungan.............................................................................. 21
4.2. Fisiologi
Ternak...................................................................................... 26


4.5. Recording............................................................................................... 37
BAB V SIMPULAN DAN SARAN......................................................................... 39
5.1. Simpulan................................................................................................. 39
5.2. Saran....................................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 40
Lampiran............................................................................................................... 45
![]() |
|||||
![]() |
|||||
![]() |
|||||
![]() |
DAFTAR TABEL

![]() |

Nomor Halaman
4. Diagram Alir Proses Pengeluaran Susu
![]() |
Nomor Halaman
![]() |
|
![]() |
BAB I
PENDAHULUAN
Ternak perah merupakan ternak yang mempunyai fungsi sebagai
penghasil susu. Produktivitas
ternak perah dipengaruhi kondisi fisiologi lingkungan yang meliputi suhu udara, kelembapan, radiasi matahari yang mampu
mempengaruhi kenyamanan ternak, serta kondisi fisiologi ternak
meliputi suhu tubuh, frekuensi denyut nadi dan frekuensi respirasi. Recording berguna
untuk memberi keterangan tentang individu sapi maupun secara keseluruhan
sehingga membantu peternak dalam mengambil keputusan yang sifatnya teknis dan
ekonomis. Ambing merupakan karakteristik utama pada
mamalia yang
berasal dari kelenjar keringat yang
ditutup oleh bulu kecuali pada bagian puting. Uji berat jenis susu dilakukan untuk
mengetahui kualitas susu.
Praktikum
ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan hubungan antara fisiologi
lingkungan dengan fisiologi ternak, mengenal dan mengetahui aspek-aspek rekording serta mengetahui anatomi ambing dan mengukur kualitas susu
berdasarkan berat jenis. Manfaat
praktikum ini adalah praktikan dapat mengetahui cara
pengukuran fisiologi lingkungan dan fisiologi ternak, rekording, anatomi
ambing dan pengukuran berat jenis susu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sapi
Perah Frisian Holstein
Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan
persilangan antara sapi Friesian Holstein
(FH) dengan sapi lokal Indonesia (Affandi, 2009). Karakteristik pada sapi PFH adalah
memiliki corak belang hitam putih atau merah putih, punggung agak
melengkung ke atas, bentuk ambing seperti cawan dengan puting susu yang kecil
dan bervariasi teksturnya, pada dahi
terdapat bulu putih yang berbentuk segitiga (Makin, 2011).
2.2. Fisiologi
Lingkungan Sapi Perah
Faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas dari
seekor ternak antara lain suhu udara, kelembapan udara, radiasi
matahari, dan kecepatan angin (Yani dan Purwanto, 2006). Kendala yang mempengaruhi produktivitas sapi
perah adalah suhu udara dan kelembapan udara (Arnold et al., 2013).
2.2.1. Suhu lingkungaan
Suhu lingkungan di daerah perkembangan sapi perah Friesian Holstein berkisar antara 5 -
15°C ( Yani dan Purwanto, 2006). Indonesia
merupakan negara tropis yang memiliki suhu udara 24 - 34°C dan menyebabkan
penurunan kinerja sapi perah meliputi kuantitas dan kualitas susu (Arnold et al., 2013).
2.2.2. Kelembapan
Negara tropis memiliki tingkat kelembapan udara
rata-rata sebesar 60 – 90% (Yani et al., 2007). Tingkat suhu udara dan kelembapan udara yang
tinggi akan mengakibatkan penurunan produksi susu pada sapi peranakan Frisien Hollstein. (Arnold et al., 2013)
2.2.3. Radiasi
matahari
Ternak
dengan bulu yang pendek dengan warna terang serta memiliki tekstur kulit yang
halus dan mengkilap adalah baik sekali untuk mengatasi pengaruh pancaran panas
radiasi matahari (Talib et al.,
2002). Radiasi matahari adalah pemindahan panas suatu benda ke benda lain tanpa
bersentuhan. Arus panas radiasi mengalir
tanpa bantuan bahan pengantar atau media dan dapat melewati ruang hampa udara. Cekaman panas sapi FH akibat radiasi matahari
bisa mencapai 77,38%. Kondisi ini terjadi mulai pukul 10.30 dan sapi
FH akan mengalami cekaman panas maksimal dari radiasi matahari tersebut pada
pukul 13.00 – 14.00 dimana pada waktu tersebut nilai intensitas radiasi
matahari dapat mencapai 480 kkal/m2/jam
(Yani et al., 2007). Dominannya warna putih pada seekor sapi FH menyebabkan pancaran radiasi yang diserap kulit sapi FH akan lebih kecil (warna putih dapat menyerap 20% pancaran radiasi sinar matahari, dan warna hitam bisa mencapai 98%) (Yani dan Purwanto, 2006).
(Yani et al., 2007). Dominannya warna putih pada seekor sapi FH menyebabkan pancaran radiasi yang diserap kulit sapi FH akan lebih kecil (warna putih dapat menyerap 20% pancaran radiasi sinar matahari, dan warna hitam bisa mencapai 98%) (Yani dan Purwanto, 2006).
2.2.4. Perkandangan
sapi perah
Perkandangan
merupakan kompleks tempat tinggal ternak dan pengelola yang digunakan untuk
melakukan kegiatan proses produksi ternak.
Pembuatan kandang sapi perah diperlukan beberapa persyaratan yaitu :
terdapat ventilasi, memberikan kenyamanan pada sapi perah, mudah dibersihkan
dan memberi kemudahan bagi pekerja kandang dalam melakukan pekerjaannya (Soetarno,
2003). Sistem perkandangan sapi perah
ada dua jenis yaitu stanchion barn
dan loose house. Stanchion barn yaitu sistem perkandangan
dimana hewan diikat sehingga gerakannya terbatas sedangkan loose house yaitu sistem perkandangan dimana hewan dibiarkan
bergerak namun dengan batas-batas tertentu (Syarif dan Bagus, 2011).
2.3. Fisiologi Ternak Sapi
Perah
Suhu serta kelembapan udara merupakan faktor penting yang
dapat mempengaruhi fisiologis sapi seperti frekuansi nafas (Yani dan Purwanto, 2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi
frekuensi nafas, meliputi jenis ternak, bangsa, individu, umur, jenis kelamin
dan kondisi ternak, serta faktor eksternal antara lain lingkungan, aktivitas
dan tekanan (stress) serta suhu
sekitar (Rumetor, 2003). Suhu tubuh normal
sapi perah FH sekitar 38 – 39,50C (Palulungan et al., 2013).
2.3.1. Suhu tubuh
Pengukuran temperatur tubuh dimaksudkan untuk
mengetahui temperatur dalam tubuh ternak.
Temperatur tubuh akan meningkat apabila ternak tidak dapat menjaga
kondisi tubuhnya melalui pernafasan dan denyut jantung pada saat terjadi
perubahan temperatur dan kelembapan lingkungan (Churng, 2002). Suhu tubuh akan meningkat apabila ternak
tidak dapat menjaga kondisi tubuhnya melalui pernafasan dan denyut jantung pada
saat terjadi perubahan temperatur dan kelembapan lingkungan (Rumetor, 2003).
2.3.2. Denyut
nadi
Denyut nadi pada daerah comfort
zone akan konstan tetapi apabila telah melewati batas tolerir comfort zone maka denyut nadi akan
mengalami peningkatan (Frandson, 1992). Faktor
yang dapat mempengaruhi denyut nadi adalah konsumsi pakan, umur, aktivitas
otot, kebuntingan, stress dan suhu
udara (Budianto, 2012). kisaran denyut jantung normal untuk sapi perah antara
50 - 80 kali/menit. Faktor yang
mempengaruhi frekuensi denyut nadi adalah suhu lingkungan
(Suherman et al., 2013)
(Suherman et al., 2013)
2.3.3. Frekuensi
nafas
Fungsi lain dari pernapasan adalah membantu regulasi
keasaman cairan ekstra seluler dalam tubuh, pengendalian suhu dan pembentukan
suara. Fungsi utama dari sistem
pernapasan adalah untuk menyediakan oksigen untuk darah dan mengambil
karbondioksida dari dalam darah.
Pernapasan terdiri atas dua proses penting yaitu proses inspirasi yang
merupakan perbesaran thorax dari paru-paru disertai masuknya udara, dan proses
ekspirasi yang merupakan penurunan dari ukuran dada disertai keluarnya udara
(Frandson, 1992). Frekuensi pernafasan
sapi dalam keadaan normal berkisar 10 – 30 kali/menit. Perubahan frekuensi
pernafasan sejalan dengan peningkatan suhu udara, hal tersebut menyebabkan
ternak meningkatkan frekuensi pernafasan untuk melepaskan panas (Utomo et al., 2009). Faktor yang mempengaruhi
tinggi rendahnya frekuensi nafas antara lain adalah ukuran tubuh, umur,
aktifitas ternak, suhu lingkungan, kesehatan ternak, dan posisi ternak
(Nainggolan, 2013)
2.3.4. Konsumsi
air minum
Konsumsi air minum untuk sapi hanya berkisar antara 30
- 40 liter per hari (Siregar, 1996). Sapi dara mengkonsumsi air minum sebanyak
10,58-12,76% dari bobot badan pada kondisi lingungan tidak nyaman dengan suhu
lingkungan malam hari sekitar 24oC dan siang hari 33,34oC. Konsumsi air minum pada sapi ini dipengaruhi
oleh banyak faktor seperti suhu lingkungan, ukuran tubuh dan kelembapanlingkungan
(Muljana, 1987). Konsumsi air minum pada
sapi perah pada lingkungan nyaman berkisar antara 3 - 3,5 liter/kilogram
konsumsi bahan kering dan akan meningkat dalam kondisi cekaman panas. Penurunan atau kenaikan konsumsi air minum
dipengaruhi oleh suhu lingkungan, jumlah makanan, produktivitas dan suhu tubuh. Meskipun secara umum keperluan air akan naik,
hubungan konsumsi air yang diminum oleh ternak dengan kenaikan suhu lingkungan belum
tentu mengalami kenaikan (Yani dan Purwanto, 2006).
2.3.5. Frekuensi
urinasi
Urinasi merupakan suatu yang dilakukan ternak dalam mengatur proses
keseimbangan tubuh yaitu dengan cara membuang urin atau cairan yang tidak
bermanfaat lagi bagi tubuh (Akoso, 2008).
Sapi perah mampu berurinasi
selama 24 jam sebanyak 3 kali sampai 19 kali.
Frekuensi urinasi seekor ternak dipengaruhi oleh suhu lingkungan yang
berkaitan dengan konsumsi air minum pada sapi perah (Robichaud et al.,
2011).
2.3.6. Frekuensi
defekasi
Standar frekuensi
defekasi sapi perah selama 24 jam mengeluarkan feses sebanyak 6 sampai 8 kali
dan mengeluarkan 8% dari berat badannya
(Soetarno, 2003). Frekuensi urinasi dan defekasi pada ternak dipengaruhi oleh suhu kandang, lingkungan dan pakan. Frekuensi urinasi dan defekasi biasanya akan berhenti atau mencapai titik terendah ketika ternak beristirahat dan frekuensinya akan naik ketika diwaktu makan (Embertson et al., 2009). Defekasi akan meningkat diwaktu jam–jam pemerahan dan pemberian pakan (Vaughan et al., 2014).
(Soetarno, 2003). Frekuensi urinasi dan defekasi pada ternak dipengaruhi oleh suhu kandang, lingkungan dan pakan. Frekuensi urinasi dan defekasi biasanya akan berhenti atau mencapai titik terendah ketika ternak beristirahat dan frekuensinya akan naik ketika diwaktu makan (Embertson et al., 2009). Defekasi akan meningkat diwaktu jam–jam pemerahan dan pemberian pakan (Vaughan et al., 2014).
2.4. Anatomi
Biologis Ambing
Ambing
terbagi menjadi empat kuartir yang masing-masing berfungsi memproduksi susu
secara mandiri (Blakely dan Bade, 1994).
Ambing sapi dibagi menjadi 4
kuartir dan masing-masing kuartir memiliki 1 putting
(Frandson et al., 2009). Ambing sapi dibagi menjadi 4 kuartir, setiap kuartir memiliki satu puting. Ambing pada kuartir bagian kanan dan kiri dipisahkan oleh ligamentum suspensori medialis, sedangkan kuartir ambing bagian depan (cranial) dan kuartir bagian belakang (caudal) dipisahkan oleh membran. Ambing bagian depan menghasilkan produksi sebesar 40%, sedangakan ambing bagian belakang mampu memproduksi susu 60% untuk setiap harinya. Ambing pada hewan ternak khususnya sapi, kaya akan produksi susu, lemak susu, dan kaya protein dengan suplai dari darah sehingga penting bagi peternak untuk memahami cara kerja ambing (Nelson, 2010).
(Frandson et al., 2009). Ambing sapi dibagi menjadi 4 kuartir, setiap kuartir memiliki satu puting. Ambing pada kuartir bagian kanan dan kiri dipisahkan oleh ligamentum suspensori medialis, sedangkan kuartir ambing bagian depan (cranial) dan kuartir bagian belakang (caudal) dipisahkan oleh membran. Ambing bagian depan menghasilkan produksi sebesar 40%, sedangakan ambing bagian belakang mampu memproduksi susu 60% untuk setiap harinya. Ambing pada hewan ternak khususnya sapi, kaya akan produksi susu, lemak susu, dan kaya protein dengan suplai dari darah sehingga penting bagi peternak untuk memahami cara kerja ambing (Nelson, 2010).
2.4.1. Perkembangan
ambing
Pertumbuhan kelenjar susu dari lahir sampai pubertas
terus mengalami perubahan, pada sapi muda pertumbuhan system duktus terus
berlangsung dan hasilnya akan terlihat pada ambing sapi dewasa, ukuran kuartir
pada ambing semakin bertambah sebagian pada kuartir belakang sampai pada
timbunan jaringan lemak masing-masing menyatu menjadi satu dan bergabung
pada dasar bagian ambing, berat ambing pada anak sapi dan bergabung pada dasar
bagian ambin, berat ambing apada anak sapi sampai pubertas terus meningkat
kapasitasnya (Mukhtar, 1997). Fase pregnant mare serum gonadorrophin (PMSG) merupakan
salah satu fase dimana terjadi perangsangan timbulnya birahi serta menimbulkan
superovulasi pada sapi perah betina., dan terjadinya superovulasi ini akan
meningkatkan keberhasilan perkawinan. Perkembangan ambing mengalami pertumbuhan
pesat pada periode kebuntingan karena peran aktif dari korpus luteum untuk
menghasilkan hormon progesteron yang bersama-sama dengan estrogen dan laktogen
plasenta mengatur pemanjangan dan perbanyakan sistem saluran kelenjar ambing
(Sutopo, 2001). Pertumbuhan ambing dimulai 4
- 5 minggu setelah terjadi konsepsi (periode prenatal), lahir, dewasa (periode
pubertas), pertumbuhan saat ternak bunting dan laktasi. Pertumbuhan ambing pada
ternak mamalia sebelum fase kebuntingan berjalan lambat, tetapi pada saat
ternak bunting pertumbuhan ambing sangat cepat dan mulai menurun pada saat
laktasi (Lawrence dan Fowler, 2002).
2.4.2. Anatomi
dan fisiologi ambing
Kuartir belakang merupakan bagian yang besar dan
menghasilkan susu 60% dari total produksi sedangkan bagian depan 40% dari total
produksi (Sangbara, 2011). Bagian
eksternal ambing antara lain medial
suspensory ligament, lateral suspensory ligament, membrane vine dan bagian
internal ambing antara lain alveoli, milk
ductus atau saluran susu, gland
cistern, teat cistern, otot sfingter,
annular fold, dan streak canal. Gland
cistern merupakan tempat penampungan susu dari semua saluran, susu yang
telah ditampung akan mengalir menuju teat
cistern melewati annular fold yang
didalamnya terdapat otot sfingter
sebagai penahan susu di dalam ambing. Streak canal yang ditutupi oleh otot sfingter merupakan pintu bukaan dair teat cistern sebelum keluar melewati teat meatus menuju ruang bebas. Ambing
merupakan suatu kelenjar kulit yang sekelilingnya tertutupi oleh bulu, kecuali
pada puting. Ambing tampak seperti
kantung yang berbentuk persegi empat yang terbagi menjadi dua bagian kiri dan
kanan yang dipisahkan oleh satu lekukan yang memanjang disebut medial suspensory ligament. Bagian ambing kanan dan kiri masing-masing
dipisahkan menjadi dua bagian kuartir depan dan belakang oleh suatu membrane
yang amat tipis disebut membrane vine
(Blakely dan Bade, 1994). Alveoli
merupakan struktur utama penghasil susu yang dilapisi oleh sel epitel. Susu yang dihasilkan kemudian disalurkan
melalui sistem duktus menuju sinus lactiferous
dan gland cistern untuk ditampung
sebelum nantinya dikeluarkan melalui puting (Frandson et al., 2009).
2.4.3.
Pembentukan dan biosintesis susu
Ambing mengandung
kumpulan alveoli yang memiliki kemampuan untuk memproduksi susu. Susu yang
diproduksi alveoli akan meningkat apabila ambing dalam keadaan kosong,
sebaliknya susu yang diproduksi alveoli akan menurun apabila ambing telah
terisi penuh. Biosintesis susu yang terjadi pada ambing meliputi biosintesis
protein, lemak dan laktosa. (Rusdiana dan Sejati, 2009). Air susu pada tubuh sapi dibuat oleh kelenjar
susu di dalam ambing. Kelenjar susu
tersusun dari gelembung-gelembung susu sehingga berbentuk seperti buah anggur
yang disebut alveoli. Dinding gelembung
tersebut merupakan sel-sel yang menghasilkan air susu yang bahan baku pembentuknya adalah dari darah
(Sangbara, 2011). Biosintesis susu
meliputi sintesis protein, sintesis lemak dan sintesis laktosa. Bahan baku
untuk sintesis protein adalah asam amino bebas, plasma protein, dan
peptide. Protein susu disintesis oleh
ambing, sedangkan untuk pembentukannya merupakan dari penggabungan-penggabungan
asam amino. Proses sintesis air susu
terjadi pada sekretoris bagian ribosom dikontrol oleh gen-gen yang mengandung
bahan genetik (DNA). Sintesis protein
susu meliputi 3 proses yaitu replikasi DNA, transkripsi DNA menjadi RNA dan
translasi RNA menjadi protein (Aisyah, 2011).
Pencernaan selulosa dan hemiselulosa yang banyak terdapat pada hijauan,
paling banyak diproduksi oleh mikroba rumen adalah asam asetat dan kemudian
asam propionat. Asam asetat langsung
dapat digunakan oleh kelenjar susu untuk sintesis asam lemak susu. Tiga puluh dua persen dari asam propionat
yang diproduksi di rumen digunakan untuk sintesis glukosa (Musnandar, 2011).
2.4.4. Pengeluaran
susu
Pengeluaran susu merupakan suatu reflek saraf yang
dihasilkan oleh berbagai rangsangan.
Rangsangan yang diberikan pada ambing, akan mendorong hormon oksitosin
untuk melepaskan susu keluar dari alveolus dan duktus–duktus kecil ke dalam
tiap–tiap kuartir (Pujiati dan Indrianto, 2009). Rangsangan syaraf seperti gerakan pedet
menyusu, usapan, tekanan dan basuhan air hangat
menyebabkan lubang puting susu terbuka sehingga air susu dari ruang
kisterna mengalir keluar (Sangbara, 2011).
Rangsangan tersebut menyebabkan hormon oksitosin dari lobus posterior
kelenjar pituitary dan masuk ke
aliran darah. Oksitosin mencapai ambing
dalam beberapa detik dan menyebabkan timbulnya kontraksi jaringan alveolus dan
salura-saluran kecil sehingga susu akan
terdorong keluar (Blakely dan Bade, 1994).
2.5. Susu
Sapi Perah
Susu sapi
perah merupakan bahan pangan sumber protein yang sangat penting untuk memenuhi
kebutuhan gizi masyarakat karena memiliki kandungan gizi yang tinggi dan
komposisi yang lengkap (Utomo dan Miranti, 2010). Susu merupakan bahan pangan yang banyak
disukai oleh masyarakat karena mempunyai kandungan nutrisi yang sangat lengkap
antara lain lemak, laktosa, protein, mineral, vitamin dan enzim (Winarso,
2008).
2.5.1. Syarat susu
sapi perah
Susu sapi yang baik harus memenuhi syarat-syarat
antara lain susu harus mengandung nutrisi yang lengkap dan tidak tercemar
mikroba, susu akan mengalami kerusakan karena adanya mikroba jika berada dalam
suhu kamar lebih dari 4 jam (Wardyaningrum, 2011). Susu dianggap berkulalitas
baik apabila di dalam susu tersebut memiliki kandungan gizi yang proporsinya
seimbang dan mudah dicerna (Legowo et al.,
2009).
2.5.2. Komponen
susu
Kandungan vitamin dalam susu adalah sebesar 2 mg/100
(Nurliyani, 2003). Komponen susu terdiri
dari air, lemak, protein, laktosa, SNF (Solid
Non Fat) atau bahan kering tanpa lemak dan Total Solid (TSL) (Winarso, 2008).
Kadar air dalam susu sebesar 87,5%, tingginya kadar air dalam susu
terjadi karena air merupakan medium dispersersi lemak dan komponen yang larut
dalam air susu, Komponen susu dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pakan,
umur sapi, iklim dan waktu pemerahan (Utomo dan Miranti 2010). Komposisi
susu terdiri dari 3,7% lemak susu, 4,9% laktosa dan 3,5% protein (Prasetya,
2012).
2.5.3. Berat
jenis susu
Berat jenis
susu berbanding terbalik degan jumlah kadar lemak susu, jika kadar lemak susu
tinggi maka berat jenis susu semakin rendah, begitu juga apabila kadar lemak
susu rendah maka berat jenis susu meningkat (Mardalena, 2008). Berat Jenis susu segar standar adalah sebesar
1,028 (Miskiyah, 2011). Tingginya TS (Total Solid) dan lemak yang terkandung
dalam susu maka akan semakin tinggi kualitas susu tersebut. Kualitas susu dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti pakan, lingkungan, ternak, dan umur ternak (Nurhadi, 2010). Susu
yang telah mengalami penyimpanan maka mengalami fermentasi secara anaerob. Bakteri dalam susu akan menggunakan laktosa
dan kasein untukfermentsi menghasilkan asam laktat. Semakin lama penyimpanan semakin banyak asam
laktat yang terbentuk dan kandunga laktosa dalam susu semakin menurun (Sawitri,
2012). Semakin lama penyimpanan susu,
maka berat jenis susu semakin meningkat (Ismanto et al., 2013).
2.6. Recording
Recording merupakan sistem pencatatan yang efisien karena pencatatan dapat dilakukan dengan
lebih sederhana tetapi cukup akurat untuk digunakan dalam pendugaan kurva
produksi ataupun nilai pemuliaan (Indrijani dan Anang,
2002). Recording
terutama dilakukan pada peternakan besar harus
diarahkan kepada seleksi berdasarkan nilai pemuliaan ternak agar kemajuan
genetiknya lebih cepat dan terkontrol (Nena, 2005).
BAB III
METODOLOGI

3.1. Materi
Materi yang digunakan adalah air, sapi perah
nomer 2031, preparat awetan ambing sapi, susu segar, susu kemasan (Ultra
Milk) dan
narasumber. Alat yang digunakan dalam
praktikum adalah hygrometer untuk mengukur suhu dan kelembapan,
black globe temperature untuk
mengukur radiasi matahari, meteran untuk mengukur kandang, termometer klinis
untuk mengukur suhu tubuh sapi, tisu basah untuk membersihkan termometer
klinis, stetoskop untuk mengukur denyut nadi sapi, stopwatch untuk mengukur waktu, nampan untuk wadah preparat, tabung
ukur untuk wadah susu dan laktodensimeter untuk mengukur suhu dan berat jenis
susu.
3.2. Metode
3.2.1. Fisiologi
lingkungan
Metode yang
dilakukan pada fisiologi lingkungan adalah dengan mengukur suhu lingkungan,
kelembapan dan radiasi matahari. Mencatat hasil pengukuran pada lembar laporan
sementara dan mengukuru nilai radiasi matahari menggunakan rumus.
3.2.1.1. Suhu lingkungan, metode yang digunakan dalam
praktikum produksi ternak perah dengan materi suhu lingkungan adalah mengamati
suhu lingkungan makro dan mikro menggunakan alat hygrometer, kemudian membaca suhu yang terukur pada hygrometer. Suhu yang terukur kemudian
dicatat pada lembar laporan sementara.
3.2.1.2. Kelembapan, metode yang digunakan dalam
praktikum produksi ternak perah dengan materi kelembapan udara adalah mengamati
kelembapan udara pada hygrometer
dalam kandang dan luar kandang, kemudian membaca kelembapan yang terukur pada hygrometer. Kelembapan yang terukur
kemudian dicatat pada lembar laporan sementara.
3.2.1.3. Radiasi
matahari, metode yang dilakukan dalam pengukuran radiasi matahari
adalah dengan cara membaca skala teermometer pada black globe temperature. Skala yang terbaca kemudian digunakan
untuk menghitung nilai radiasi matahari. Perhitungan nilai radiasi matahari
adalah dengan rumus :
R = δT4
Keterangan :
|
R = Radiasi
matahari (Kcal m-2 jam-1)
= Konstanta Stefann Boltzman
(4,903x10-8)
T = suhu mutlak
dalam Kelvin (273 + ºC)
3.2.1.4. Perkandangan
sapi perah, menggunakan metode pengamatan pada kandang secara langsung,
dimana praktikan melakukan pengamatan mengenai kondisi kandang, mengukur
panjang kandang, lebar kandang, tinggi kandang, tinggi atap luar, tinggi atap
dalam, panjang tempat pakan dan minum, lebar tempat pakan dan minum, tinggi
tempat pakan dan minum, kemiringan lantai, jarak kandang dengan pembuangan
limbah, lebar dan tinggi pintu, gudang pakan, bak penampungan air, panjang
selokan, lebar selokan, kedalaman selokan dan bahan pembuat atap dan
lantai. Hasil pengukuran dicatat pada lembar laporan sementara.
3.2.2. Fisiologi
ternak
Metode yang
digunakan dalam fisiologi ternak adalah dengan mengukur suhu tubuh melalui
rektal sapi perah, menghitung denyut
nadi dan frekuensi nafas selama satu menit. Mencatat hasil pengukuran pada
lembar laporan sementera.
3.2.2.1. Suhu tubuh, menggunakan
metode mengukur temperatur tubuh atau pengukuran suhu tubuh dengan cara
memasukkan termometer klinis ke dalam rektum sapi hingga berbunyi
yang menandakan suhu tubuh sudah stabil, kemudian melihat angka yang
ditunjukkan oleh termometer klinis.
Pengukuran suhu tubuh dilakukan
secara duplo atau dilakukan sebanyak dua kali.
3.2.2.2. Denyut
nadi, metode yang digunakan dalam
pengukuran denyut nadi adalah melalui perabaan bagian denyut nadi pada bagian
pangkal ekor sapi dengan menggunakan tangan dan merasakan denyut nadi sapi. Perhitungan dilakukan dengan merasakan denyut
nadi selama satu menit.
3.2.2.3. Frekuensi
pernafasan, metode yang digunakan dalam pengukuran frekuensi
pernafasan dilakukan dengan tahapan melakukan handling sapi sehingga sapi tenang.
Mengukur kecepatan pernafasan dengan menempelkan telapak di dekat lubang
hidung sapi perah, setiap tarikan dan hembusan nafas dihitung satu kali
pernafasan. Pengukuran dilakukan selama
satu menit.
3.2.2.4. Konsumsi
air minum, metode yang digunakan dalam pengukuran konsumsi air
minum dilakukan dengan mengisi cup air minum secara ad-libitum. Mencatat waktu pengisian dan menghitung jumlah
frekuensi pengisian.
3.2.2.5. Frekuensi
urinasi, metode yang dilakukan dalam frekuensi urinasi dengan cara
mengamati selama 24 jam setiap sapi melakukan urinasi. Mencatat waktu pada saat
sapi perah mengeluarkan urin.
3.2.2.6. Frekuensi
defekasi, metode yang dilakukan dalam frekuensi urinasi dengan cara
mengamati selama 24 jam setiap sapi melakukan defekasi. Mencatat waktu pada
saat sapi perah mengeluarkan feses.
3.2.3. Anatomi biologis ambing
Metode yang dilakukan adalah menyiapkan preparat ambing
sapi perah yang telah di awetkan. Mengamati secara langsung ambing (awetan)
yang telah disediakan kemudian mendiskusikan bagian-bagian ambing serta
fungsinya dan memepersentasikan hasil pengamatan.
3.2.4. Pengukuran
berat jenis susu
Metode yang
digunakan adalah menyiapkan susu segar dan susu UHT masing-masing 500 ml, susu
kemudian dikocok terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam tabung ukur 500
ml. Laktodensimeter dimasukkan ke dalam tabung ukur yang telah terisi susu
secara perlahan. Laktodensimeter yang
telah stabil kemudian dibaca skala dan suhu yang ditunjukkan di permukaan susu. Suhu dan berat jenis yang terukur kemudian
dicatat dalam lembar laporan sementara.
Menghitung berat jenis susu dengan rumus :
Berat Jenis = Berat jenis terukur – (27,5 – T) X 0,0002
Keterangan:
T = suhu terukur
3.2.5. Recording
Recording dilakukan dengan mewawancarai langsung kepada pak Marno sebagai penjaga
kandang sekaligus
narasumber mengenai pencatatan identitas
sapi, produksi sapi, riwayat penyakit yang
pernah diderita dan riwayat keberhasikan reproduksi
sapi. Hasil wawancara kemudian dicatat pada lembar laporan sementara.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Fisiologi Lingkungan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat
diketahui bahwa salah satu faktor penentu kuantitas dan kualitas produksi susu
pada sapi perah adalah lingkungan. Faktor
fisiologi lingkungan dalam hal ini meliputi suhu udara, tingkat kelembapan pada
udara, dan radiasi matahari. Menurut
Yani dan Purwanto (2006) faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas sapi
perah meliputi suhu udara, kelembapan udara, radiasi matahari, dan kecepatan
angin. Ditambah pendapat Arnold (2013)
bahwa salah satu kendala yang mempengaruhi produktivitas sapi perah adalah suhu
udara dan kelembapan udara.
No.
|
Jam
|
Suhu
|
Kelembapan
|
Radiasi Matahari
|
|||
Dalam
|
Luar
|
Dalam
|
Luar
|
||||
|
|
-----°C-----
|
-----%-----
|
--kkal m-2 jam-1--
|
|||
1.
|
18.00
|
27,5
|
27,1
|
71,0
|
72,0
|
384,07
|
|
2.
|
24.00
|
25,5
|
25,0
|
80,0
|
80,0
|
381,49
|
|
3.
|
06.00
|
25,0
|
25,0
|
81,5
|
80,0
|
381,49
|
|
4.
|
12.00
|
28,0
|
27,9
|
65,0
|
68,0
|
405,14
|
|
5.
|
18.00
|
27,0
|
27,5
|
72,0
|
74,0
|
391,87
|
|
|
Rerata
|
26,6
|
26,5
|
73,9
|
75,0
|
388,81
|
|
|
|
|
|
|
|
||
Sumber : Data
Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
4.1.1. Suhu
lingkungan
Berdasarkan Tabel 1. diperoleh bahwa suhu lingkungan mikro
sebesar 26,6°C dan suhu makro sebesar 26,5°C. Suhu lingkungan merupakan tingkat
derajat panas yang diterima oleh tubuh hewan ternak, dalam hal ini adalah sapi PFH. Suhu mikro adalah besarnya suhu yang berada
di dalam kandang, sedangkan suhu makro adalah besarnya suhu yang berada di
lingkungan luar kandang. Tingginya
tingkat suhu udara ini akan mengurangi kinerja sapi karena menyebabkan cekaman
panas yang akan berimbas pada penurunan jumlah produksinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Yani dan
Purwanto (2006) bahwa temperatur suhu
di daerah asal sapi perah Friesian holstein
adalah 5 - 15°C. Ditambahkan
pendapat dari Arnold et al. (2013) bahwa Indonesia merupakan negara
tropis yang memiliki suhu udara 24 - 34°C dan menyebabkan penurunan kinerja
sapi perah meliputi kuantitas dan
kualitas susu.
4.1.2. Kelembapan
Berdasarkan Tabel 1. diperoleh hasil bahwa kelembapan
udara merupakan besarnya uap air yang ada di udara bebas. Tingginya kelembapan udara menyebabkan
terjadinya cekaman panas pada hewan ternak dalam hal ini adalah sapi jenis PFH. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan,
didapatkan hasil bahwa rata-rata kelembapan udara mikro dan makro adalah 73,9%
dan 75%. Hal ini sesuai dengan pendapat
Yani et al. (2007) bahwa negara tropis memiliki
tingkat kelembapan udara sebesar 60 – 90%.
Tingkat kelembapan yang tinggi akan mempengaruhi produktivitas sapi PFH. Hal ini sesuai dengan Arnold et al.
(2013) bahwa tingkat suhu udara dan kelembapan udara yang tinggi
akan mengakibatkan penurunan produksi susu pada sapi PFH.
4.1.3. Radiasi
matahari
Berdasarkan Tabel 1. diperoleh radiasi matahari tertinggi
terjadi pada pukul 12.00 WIB yaitu sebesar 405,14 Kcal m-2 jam-1. Sapi FH sudah mengalami cekaman panas pada
kondisi ini, radiasi matahari secara langsung terhadap sapi perah FH yang
mengakibatkan sapi tidak nyaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Yani et al. (2007) yang menyatakan bahwa
cekaman panas sapi FH akibat radiasi matahari bisa mencapai 77,38%. Kondisi ini terjadi mulai pukul 10.30 dan
sapi FH akan mengalami cekaman panas maksimal dari radiasi matahari tersebut
pada pukul 13.00 – 14.00 dimana pada waktu tersebut nilai intensitas radiasi
matahari dapat mencapai 480 kkal/m2/jam. Talib et al. (2002) mengatakan bahwa ternak
dengan bulu yang pendek dengan warna terang serta memiliki tekstur kulit yang
halus dan mengkilap adalah baik sekali untuk mengatasi pengaruh pancaran panas
radiasi matahari. Ditambahkan oleh Yani dan Purwanto (2006) yang menyatakan
bahwa dominannya warna putih pada seekor sapi FH menyebabkan pancaran radiasi
yang diserap kulit sapi FH akan lebih kecil (warna putih menyerap 20% pancaran
radiasi sinar matahari, dan warna hitam bisa mencapai 98%).
4.1.4. Perkandangan
Berdasarkan
praktikum yang telah dilakukan sistem perkandangan di Fakultas Peternakan dan
Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang dilihat dari aspek-aspek
perkandangan sudah termasuk dalam kategori baik namun perlu ditingkatkan
sanitasinya. Perkandangan merupakan
suatu lokasi atau lahan khusus yang diperuntukkan sebagai sentra kegiatan
peternakan yang didalamnya terdiri atas bangunan utama (kandang), bangunan
penunjang seperti gudang pakan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan pakan
ternak selama dalam jangka waktu tertentu, kandang isolasi yang berfungsi untuk
memisahkan ternak yang sehat dengan ternak yang sakit sehingga ternak yang sehat
tidak mudah tertular penyakit, dan perlengkapan lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Soetarno
(2003) yang menyatakan bahwa perkandangan merupakan kompleks tempat tinggal
ternak dan pengelola yang digunakan untuk melakukan kegiatan proses produksi ternak. Dalam
pembuatan kandang sapi perah diperlukan beberapa persyaratan yaitu : terdapat
ventilasi, memberikan kenyamanan pada sapi perah, mudah dibersihkan dan memberi
kemudahan bagi pekerja kandang dalam melakukan pekerjaannya. Ditambahkan oleh pendapat Syarif dan Bagus
(2011) yang menyatakan bahwa sistem perkandangan sapi perah ada dua jenis yaitu
stanchion barn dan loose house. Stanchion barn yaitu sistem perkandangan
dimana hewan diikat sehingga gerakannya terbatas sedangkan loose house yaitu sistem perkandangan dimana hewan dibiarkan
bergerak namun dengan batas-batas tertentu.
Parameter
|
Ukuran
|
Panjang Kandang (m)
|
12,6
|
Lebar Kandang (m)
|
8,2
|
Tinggi Kandang (m)
|
4,22
|
Panjang palung (m)
|
9,2
|
Lebar palung (cm)
|
55
|
Kedalaman palung (cm)
|
50
|
Tinggi palung (cm)
|
63
|
Panjang selokan (m)
|
9,43
|
Lebar selokan (cm)
|
26
|
Kedalaman selokan (cm)
|
8
|
Lebar flock
(cm)
|
199
|
Panjang flock (cm)
|
190
|
Tinggi flock (cm)
|
129
|
Kamar susu (m2)
|
10,56
|
|
|
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah,
2015.
Ilustrasi 1. Kandang Tampak Dalam (Kiri)
dan Tampak Luar (Kanan)
![]() |
![]() |
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
4.2. Fisiologi
Ternak
Pengamatan fisiologi ternak sapi perah meliputi pengukuran suhu tubuh, denyut nadi
dan frekuensi nafas. Menurut Yani dan Purwanto (2006) kisaran suhu
tubuh normal pada sapi FH adalah 38,5 – 39,60C dengan suhu kritis 400C,
kisaran normal denyut nadi 60 - 70 kali/menit dan rata- rata frekuensi nafas tiap menit dalam keadaan istirahat adalah 20 kali.
Rumetor (2003) menyatakan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi fisiologis ternak, meliputi jenis
ternak, bangsa, individu, umur, jenis kelamin dan kondisi ternak, serta faktor
eksternal antara lain lingkungan, aktivitas dan tekanan (stress) serta suhu sekitar.
No.
|
Jam
|
Suhu Tubuh
|
Denyut Nadi
|
Frekuensi Nafas
|
|
|
|
-----°C-----
|
----------kali/menit----------
|
||
1.
|
18.00
|
38,8
|
58
|
33
|
|
2.
|
24.00
|
38,55
|
57
|
31
|
|
3.
|
06.00
|
37,85
|
54
|
28
|
|
4.
|
12.00
|
38,8
|
66
|
52
|
|
5.
|
18.00
|
39,05
|
67
|
40
|
|
|
Rerata
|
38,55
|
60,8
|
36,9
|
|
|
|
|
|
|
|
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak
Perah, 2015.
4.2.1. Suhu tubuh
Berdasarkan Tabel 3.
diperoleh rata-rata suhu tubuh 38,550C. Hal
tersebut sesuai standar normal yang dikemukakan oleh Palulungan et al. (2013) yang menyatakan bahwa suhu
tubuh normal sapi perah FH sekitar 38 – 39,50C. Hal
ini menandakan bahwa indikasi stres panas yang dialami oleh sapi perah belum
parah, kemungkinan stres panas tersebut telah cukup diantisipasi dengan sistem
pengurangan panas oleh tubuh ternak. Churng (2002) menyatakan bahwa beberapa upaya
pengurangan panas yang dapat dilakukan oleh sapi perah antara lain berteduh,
mengurangi konsumsi pakan, memperbanyak minum, peningkatan frekuensi respirasi,
meningkatkan produksi saliva dan keringat, serta mengeluarkan urin. Pengukuran temperatur tubuh dimaksudkan untuk
mengetahui temperatur dalam tubuh ternak.
Rumetor (2003) menyatakan
bahwa temperatur tubuh akan meningkat
apabila ternak tidak dapat menjaga kondisi tubuhnya melalui pernafasan dan
denyut jantung pada saat terjadi perubahan temperatur dan kelembapan
lingkungan.
4.2.2. Denyut
nadi
Rerata denyut nadi adalah sebesar 60,8 kali/menit. Hasil ini masih tergolong dalam kondisi
normal. Hal ini sesuai dengan pendapat
Suherman et al. (2013) bahwa kisaran
denyut nadi normal untuk sapi perah antara 50 - 80 kali/menit, faktor yang
mempengaruhi frekuensi denyut nadi adalah suhu lingkungan. Menurut
Budianto (2012) faktor yang dapat mempengaruhi denyut nadi adalah konsumsi pakan, umur, aktivitas otot, kebuntingan, stress dan suhu udara.
Budianto (2012) faktor yang dapat mempengaruhi denyut nadi adalah konsumsi pakan, umur, aktivitas otot, kebuntingan, stress dan suhu udara.
4.2.3. Frekuensi nafas
Rerata frekuensi nafas adalah sebesar 36,9 kali/menit. Hasil ini menunjukan indikasi tidak normal
dalam pemeliharaan sapi PFH. Hal ini
sesuai dengan pendapat Utomo et al. (2009) yang menyatakan bahwa frekuensi
pernafasan sapi dalam keadaan normal berkisar 10 – 30 kali/menit. Perubahan frekuensi
pernafasan sejalan dengan peningkatan suhu udara, hal tersebut menyebabkan
ternak meningkatkan frekuensi pernafasan untuk melepaskan panas. Menurut
Nainggolan (2013) faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya frekuensi nafas
antara lain adalah ukuran tubuh, umur, aktifitas ternak, suhu lingkungan, kesehatan
ternak, dan posisi ternak.
4.2.4. Konsumsi
air minum
Berdasarkan Tabel 4. diperoleh hasil bahwa jumlah konsumsi
air minum selama pemeliharaan satu hari adalah sebesar 22,1 liter. Jumlah konsumsi air minum menunjukan nilai
konsumsi air tergolong rendah. Jumlah
konsumsi air dipengaruhi oleh faktor temperatur lingkungan dan cekaman yang
terjadi pada ternak, penurunan atau kenaikan konsumsi air minum dipengaruhi
oleh suhu lingkungan, jumlah makanan, produktivitas dan suhu tubuh. Sapi perah meningkatkan konsumsi air minum
saat suhu lingkungan berada di atas suhu nyaman tubunya, sedangkan ketika suhu
lingkungan berada di bawah suhu nyaman maka konsumsi air minum akan mengalami
penurunan. Konsumsi air minum akan menentukan produksi susu sapi perah. Siregar (1996) menyatakan bahwa konsumsi air
minum untuk sapi hanya berkisar antara 30 - 40 liter per hari. Ditambahkan Muljana (1987) menyatakan bahwa kelembapan
udara, suhu lingkungan dan ukuran tubuh sangat berpengaruh terhadap tinggi
rendahnya jumlah konsumsi air minum pada sapi perah.
Pengisian ke-
|
Volume (L)
|
Jam Pengisian
|
1
|
1,3
|
18.46
|
2
|
1,3
|
21.30
|
3
|
1,3
|
00.15
|
4
5
6
7
8
9
10
11
12
|
1,3
1,3
1,3
1,3
7,8
1,3
1,3
1,3
1,3
|
07.05
07.20
08.00
09.00
10.20
14.13
15.01
15.55
17.50
|
Total
|
22,1
|
|
Sisa
|
0
|
|
|
|
|
Sumber: Data Primer Praktikum
Produksi Ternak Perah, 2015.
4.2.5. Frekuensi
urinasi dan defekasi
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh
hasil bahwa frekuensi urinasi selama 24 jam sebanyak 9 kali, frekuensi urinasi
selama 24 jam adalah normal karena dipengaruhi oleh lingkungan dan banyaknya
air yang diminum oleh ternak tersebut. Hal
ini sesuai dengan pendapat Robichaud et
al. (2011) menyatakan bahwa sapi
perah mampu berurinasi selama 24 jam sebanyak 3 kali sampai 19 kali. Frekuensi urinasi dipengaruhi oleh suhu
lingkungan yang berkaitan dengan konsumsi air minum pada sapi perah. Emberston et
al. (2009) yang menyatakan bahwa
hewan ternak frekuensi urinasi dan defekasi dipengaruhi oleh suhu kandang,
lingkungan dan pakan, biasanya frekuensi dan defekasi akan berhenti atau
mencapai titik terendah ketika ternak beristirahat dan frekuensinya akan naik
ketika waktu makan.
Frekuensi defekasi
selama 24 jam terjadi 11 kali defekasi, frekuensi defekasi tersebut adalah
normal karena standar defekasi normal yaitu 3 – 18 kali dalam sehari. Hal ini dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan
pemberian pakan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Robichaud et al. (2011) yang menyatakan bahwa frekuensi
defekasi selama 24 jam pada sapi perah terjadi sebanyak 3 sampai 18 kali dalam
sehari, frekuensi defekasi yang lebih rendah dari normal disebabkan karena suhu
lingkungan yang cukup tinggi sehingga ternak akan banyak minum. menurut pendapat
Vaughan et al. (2014) yang menyatakan bahwa defekasi akan meningkat diwaktu jam–jam pemerahan dan pemberian pakan.
Vaughan et al. (2014) yang menyatakan bahwa defekasi akan meningkat diwaktu jam–jam pemerahan dan pemberian pakan.
No.
|
Waktu Urinasi
|
Waktu Defekasi
|
1.
|
20.14
|
20.14
|
2.
|
22.07
|
22.01
|
3.
|
03.12
|
01.30
|
4.
|
08.20
|
07.05
|
5.
|
10.30
|
08.00
|
6.
|
10.53
|
09.55
|
7.
|
14.44
|
11.50
|
8.
|
15.49
|
12.10
|
9.
|
|
12.26
|
10.
|
|
15.51
|
11.
|
|
17.10
|
|
|
|
Sumber: Data Primer Praktikum
Produksi Ternak Perah, 2015.
4.3.
Anatomi Biologis
Ambing
Berdasarkan praktikum yang telah
dilaksanakan diperoleh hasil bahwa anatomi
ambing terdiri dari anatomi eksterior dan interior. Anatomi eksterior ambing
terdiri dari outer wall, medial
suspensory ligament, lateral suspensory ligament, membrane vine, bulu, dan
puting. Anatomi interior ambing terdiri dari alveoli, gland cistern, teat cistern, annular fold dan teat meatus.
Ilustrasi 2.
Bagian-bagian Eksterior Ambing
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
|
Keterangan
1. Outer wall
2. Bulu
3. Puting
4. Medial suspensory
ligament
5. Membran vine
6. Lateral suspensory ligament
|
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah,
2015.
Berdasarkan
praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil bahwa ambing terbagi menjadi
4 kuartir. Kuartir kanan dan kiri dibatasi oleh medial suspensory ligament yang membagi kuartir kanan dan kiri
menjadi simetris sehingga mampu memproduksi susu dengan optimal. Kuartir depan
dan belakang dibatasi oleh membrane vine.
Lateral suspensory ligament berfungsi
untuk menjaga keseimbangan ambing dan menjaga ambing agar ambing tetap menempel
pada ambdomen. Bagian terluar dari ambing
terdapat outer wall yang berfungsi
melindungi ambing sehingga ambing teta terlindungi,seluruh bagian terluar
ambing tertutup oleh bulu kecuali pada bagian putingnya. Bulu tersebut
berfungsi untuk pengaturan suhu ambing dan proteksi terhadap bakteri yang masuk
ke ambing, sehingga tidak terdapat mikroba yang masuk ke dalam ambing melalui
puting yang dapat mengakibatkan penurunan kualitas susu yang di produksi dan
dapat mengakibatkan penyakit mastitis pada sapi perah. Bagian luar juga terdapat puting atau biasa
disebut teat meatus yang berfungsi sebagai saluran pengeluaran susu setelah susu
ditampung pada teat cistern. Hal ini sesuai dengan pendapat Blakely dan
Bade (1994) yang menyatakan bahwa ambing terbagi menjadi empat kuartir yang
masing-masing berfungsi memproduksi susu secara mandiri. Sangbara (2011)
menambahkan bahwa ambing sapi perah terbagi menjadi dua bagian yaitu ambing kiri dan ambing
kanan yang oleh membrane yang tebal yang disebut medial
suspensory ligament. Ambing kiri dan kanan masing-masing terbagi menjadi dua kuartir yaitu
kuartir depan dan kuartir belakang yang setiap kuartir mempunyai satu puting
susu.
Ilustrasi 3. Bagian-bagian Interior
Ambing
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
|
Keterangan :
1. Alveoli
2. Milk ductus
3. Gland cistern
4. Teat cistern
5. Annular fold
6. Streak canal
7. Teat meatus
|
Sumber
: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan
diperoleh hasil bahwa bagian-bagian interior ambing terdiri dari alveoli,
lumen, myoepithel, gland cistern, teat
cistern, annular fold, streak canal dan teat meatus. Alveoli berfungsi
sebagai struktur utama penghasil susu, kumpulan dari alveoli disebut lobulus,
dan lobulus yang bersatu disebut lobus. Lumen berfungsi sebagai tempat awal
penampungan susu, setelah ditampung pada lumen susu kemudian ditampung pada gland cistern,dan sebelum dikeluarkan
melalui puting susu terakhir ditampung pada teat
cistern. Myoepithel berfungsi
untuk menyerap nutrisi dari darah menuju sel sekretoris ambing. Annular fold mengatur terbuka dan
tertutupnya teat meatus sebagai
tempat keluarnya susu. Hal ini sesuai dengan pendapat Blakely dan Bade (1994)
yang menyatakan bahwa susu disekresikan oleh unit sekretoris yang disebut
alveoli, alveoli terdiri dari suatu lapis dalam sel-sel epitel yang
menyelubungi suatu rongga yang disebut lumen. Sel epitel menyerap zat-zat darah
dan mensintesisnya menjadi susu.
Pembentukan susu dan biosintesis susu pada ambing diproduksi
di alveoli oleh kelenjar susu. Hal ini sesuai dengan pendapat Rusdiana dan
Sejati (2009) yang menyatakan bahwa
di dalam ambing terdapat kumpulan alveoli yang memiliki kemampuan untuk
memproduksi susu. Susu yang diproduksi alveoli akan meningkat apabila ambing
dalam keadaan kosong, sebaliknya susu yang diproduksi alveoli akan menurun
apabila ambing telah terisi penuh. Biosintesis susu yang terjadi pada ambing
meliputi biosintesis protein, lemak dan laktosa. Hal ini sesuai dengan pendapat
Aisyah (2011) yang menyatakan biosintesis susu meliputi sintesis protein,
sintesis lemak dan sintesis laktosa. Bahan baku untuk sintesis protein adalah asam amino
bebas, plasma protein, dan peptide. Protein susu disintesis oleh ambing,
sedangkan untuk pembentukannya merupakan dari penggabungan-penggabungan asam
amino. Proses sintesis air susu terjadi pada sekretoris bagian ribosom
dikontrol oleh gen-gen yang mengandung bahan genetik (DNA). Sintesis protein
meliputi 3 proses yaitu replikasi DNA, transkripsi DNA menjadi RNA dan translasi
RNA menjadi protein. Musnandar (2011) menambahkan pencernaan selulosa dan
hemiselulosa yang banyak terdapat pada hijauan, paling banyak diproduksi oleh
mikroba rumen adalah asam asetat dan kemudian asam propionat. Asam asetat
langsung dapat digunakan oleh kelenjar susu untuk sintesis asam lemak susu.
Tiga puluh dua persen dari asam propionat yang diproduksi di rumen digunakan
untuk sintesis glukosa.
Ilustrasi 4. Diagram Alir Proses Pengeluaran Susu
![]() |

![]() |
Sumber :
Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
Pengeluaran susu yang telah diproduksi ambing berawal
dari rangsangan yang menyebabkan puting terbuka. Rangsangan yang diterima sapi
dapat diterima dari indera peraba, pengelihatan, dan pendengaran. Hal ini
sesuai dengan pendapat Sangbara (2011) yang menyatakan bahwa rangsangan syaraf
seperti gerakan pedet menyusu, usapan, tekanan dan basuhan air hangat menyebabkan lubang puting susu terbuka
sehingga air susu dari ruang kisterna mengalir keluar. Air susu mengalir
melalui saluran-saluran halus dari gelembung susu ke ruang kisterna dan ruang
puting susu. Pujiati dan Indrianto (2009) menyatakan bahwa rangsangan yang
diberikan pada ambing, akan mendorong hormon oksitosin untuk melepaskan susu
keluar dari alveolus dan duktus–duktus kecil ke dalam tiap–tiap kuartir.
4.4. Berat Jenis Susu
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diperoleh
data sebagai berikut :
No
|
Parameter
|
Susu Segar
|
Susu Olahan
|
1
|
Waktu pemerahan
|
05.00 WIB
|
-
|
2
|
Jumlah susu (ml)
|
450
|
500
|
3
|
BJ susu
|
1,0297
|
1,0216
|
Sumber
: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
Berdasarkan Tabel 6. diketahui bahwa
berat jenis merupakan salah satu uji yang digunakan untuk menentukan kualitas
dari susu. Susu segar memiliki berat
jenis susu sebesar 1,0297, sedangkan susu UHT memiliki berat jenis sebesar
1,0216. Berat jenis susu segar berada diatas standar, sedangkan berat jenis
susu UHT berada dibawah standar. Hal ini
sesuai dengan pendapat Miskiyah (2011) yang menyatakan bahwa standar berat
jenis susu standar sebesar 1,028. Susu
segar memiliki berat jenis lebih besar dibandingkan dengan susu UHT karena
kemungkinan total solid (lemak) pada
susu segar lebih rendah dibandingkan dengan susu UHT yang telah mengalami
pengolahan. Semakin tinggi kadar lemak
yang terkandung, akan menyebabkan berat jenis susu semakin menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat Mardalena
(2008) yang menyatakan bahwa berat jenis
susu berbanding terbalik degan jumlah kadar lemak susu, jika kadar lemak susu
tinggi maka berat jenis susu semakin rendah, begitu juga apabila kadar lemak
susu rendah maka berat jenis susu meningkat.
Hal tersebut diperkuat dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ismanto et al. (2013) yang menyatakan bahwa
semakin lama penyimpanan susu, maka berat jeni susu semakin meningkat.
4.5. Recording
Berdasarkan
hasil praktikum yang telah dilaksanakan, diperoleh data bahwa
sapi No. 2031 berjenis kelamin betina, berumur 4,5 tahun. Awal laktasi bulan Oktober memproduksi susu
94 liter, bulan November memproduksi 89 liter, bulan Desember memproduksi 73,5
liter dan bulan Januari memproduksi 98 liter dengan rata-rata produksi 3 – 4
liter/hari. Pada tanggal 3 Februari 2014
pernah sukses melakukan Inseminasi Buatan dengan no. straw dan bangsa 306055 / 1000, asal straw
Ungaran, Inseminator 7248. Sapi perah yang berada di kandang Fakultas Pertenakan dan
Pertanian menggunakan recording yang
belum baik, semua data yang
dimiliki mengenai ternak tidak
dilakukan pencacatan dengan rapi, sehingga data yang diperoleh belum valid. Pencacatan identifikasi pada ternak
perlu dilakukan dengan mencatat semua data dan informasi yang bersangkutan dengan sapi
tentang nomor dan nama ternak, nomor registrasi, tanggal lahir dan jenis
kelamin. Hal ini sesuai dengan pendapat Indrijani dan Anang (2002) menambahkan bahwa recording
merupakan salah satu
sistem pencatatan yang efisien karena pencatatan dapat dilakukan dengan lebih
sederhana tetapi cukup akurat untuk digunakan dalam pendugaan kurva produksi
ataupun nilai pemuliaan. Nena (2005)
menambahkan bahwa recording terutama
dilakukan pada peternakan besar harus diarahkan kepada seleksi berdasarkan
nilai pemuliaan ternak agar kemajuan genetiknya lebih cepat dan terkontrol.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Fisiologi
lingkungan akan berpengaruh pada fisiologi ternak. Lingkungan yang panas membuat ternak tidak
nyaman sehingga mempengaruhi keadaan fisiologisnya yang berpengaruh terhadap
produksi susu baik kualitas maupun kuantitasnya. Aspek lain selain fisiologi
lingkungan dan fisiologi ternak, perkandangan yang baik akan memberikan kenyamanan
bagi ternak sehingga produktivitas ternak dapat maksimal. Berat jenis susu menentukan kualitas baik
buruknya susu.
5.2. Saran
Praktikum
yang dilakukan seharusnya preparat ambing yang digunakan diperbanyak sehingga praktikan dapat lebih
mengerti tentang anatomi ambing, sanitasi kandang perlu ditingkatakan lagi,
agar produksi sapi perah dapat meningkat. Waktu praktikum di laboratorium
diperpanjang sehingga materi anatomi biologis ambing dan berat jenis susu dapat
tersampaikan seluruhnya.
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah,
S. 2011. Tingkat
produksi susu dan kesehatan sapi perah dengan pemberian Aloe barbadensis miller. J. GAMMA 7 (1):50 - 60.
Akoso, B.T. 2008.
Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.
Anderson, B. E. 1983. Temperature Regulation and Environmental
Physiology. In: Dukes’ Physiology of
Domestic Animal. 10th ed. M. J. Swenson (Ed).
Cornell Univ. Press. P. 719
- 726.
Arnold, J. Palulungan, Adiarto, dan Tetik Hartatik. 2013. Pengaruh
Kombinasi Pengkabutan dan Kipas Angin Terhadap Kondisi Fisiologis Sapi Perah
Peranakan Friesian Holland. J. Buletin Peternakan 37 (3): 189 – 197.
Blakely, J dan Bade, D. H. 1994.
Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh
Ir. Bambang Srigondo, MSc dan Dr. drh. Soedarsono, MS).
Budianto, A. 2012. Respon
Pertumbuhan Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) Jantan Terhadap Pemberian
Berbagai Aras Ampas Bir dalam Pakan Konsentrat. Universitas Diponegoro,
Semarang. (Tesis)
Churng-faung
lee. 2002. Feeding management and strategies for
lactating dairy cows under heat stress. International
Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute
(TLRI-COA) August 26th – 31th, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.
Dewan
Standarisasi Nasional. 1998. SNI 01.,.3141. Metode Pengujian Susu Segar. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
Dalam Utomo, B dan Miranti, D. P. 2010. Tampilan
produksi susu sapi perah yang mendapat perbaikan manajeman pemeliharaan. Caraka Tani.
25 (1) : 55-67.
Embertson, M. N. M.,
P. H.
Robinson, J. G. Fadel and F.
M. Mitloehner. 2009.Effects of shade and sprinklers on
performance, behavior, physiology,and the environment of heifers. J. Dairy
Sci. 92 : 506 – 517.
Frandson, R.D. 1992. Anatomi
dan Fisiologi Ternak. Edisi ke-4. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
(Diterjemahkan oleh Bambang Srigandono dan Praseno K)
Frandson,
R. D., W. L. Wilke
and A. D. Fails.
2009. Anatomy and Physiology of
Farm Animals.Wiley-Blckwell, Lowa.
Indrijani, H dan Anang, A. 2002. Evaluasi genetic produksi susu pada
sapi perah dengan model regresi tetap. J. Ilmu Ternak. 1 : 45 - 50
Ismanto,
Toto., S. Utami dan H. A. Suratim. 2013. Pengaruh
lama penyimpanan dalam refrigator terhadap viskositas susu kambing pasteurisasi. J. Ilmiah
Peterakan. 1 (1) : 69 - 78.
Lawrence T.L.J. and Fowler. V. R. 2002. Growth of Farm Animals. CABI Publishing. Oxfordshire.
Legowo,
A. M., Kusrahayu dan Mulyani, Sri. 2009. Ilmu dan Teknologi Susu. Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Makin, M. 2011. Tata
Laksana Peternakan Sapi Perah. Graha
Ilmu, Yogyakarta.
Mardalena, 2008. Pengaruh
wakru pemerahan dan tingkat laktasi terhadap kualitas susu sapi perah peranakan
Fries Holstein. J. Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan
11(3) : 107 – 111.
11(3) : 107 – 111.
Miskiyah. 2011. Kajian
standar nasional Indonesia susu cair di Indonesia. J. Standarisasi 13 (1): 88 - 98
Mukhtar, A. 1997. Ilmu
Produksi Ternak Perah. Universitas Sebelas Maret Press, Surakarta.
Muljana, B. A. 1987.
Pemeliharaan dan Kegunaan Ternak Perah. Aneka Ilmu, Semarang.
Musnandar,
E. 2011. Efisiensi energi pada sapi perah Holstein yang diberi berbagai
imbangan rumput dan konsentrat. J. Penelitian Universitas Jambi Seri Sains 13 (2): 53 - 58.
Nainggolan,
Y. D. A. 2013. Studi Eksploratif Upaya Kesehatan Sapi Potong
Peranakan Ongole (PO) oleh Peternak Di Kecamatan Halongonan Kabupaten Padang
Lawas Utara Sumatera Utara. Institut Pertanian Bogor. (Skripsi).
Nena, H. 2005 Pendugaan nilai
pemuliaan produksi susu sapi Fries Holland berdasarkan catatan bulan tunggal
kumulatif di Taurus Dairy Farm. J. Ilmu Ternak 5 (2) : 80 – 87.
Nelson, M. G. 2010. The Complete Guide to Smallscale Farming: EverythingYou
Need to Know about Raising Beef and Dairy Cattle, Rabbits, Ducks,and Other Small
Animals. Atlantic Publishing Company, Florida
Nurliyani.
2003. Komposisi kimia dan profil protein susu kuda pada SDS page ( Sodium
Dodecyl Sulfate Polyacrylamide Gel Electrophoresis) J.
Buletin Peternakan 27 (2) : 86 – 93.
Nurhadi,
M. 2010.
Dimensi sosiologis dalam upaya meningkatkan kualitas susu sapi perah
(Studi Kasus di KUD Jatinom, Kabupaten Klaten).
Jurnal Sosiologi.
25 (2): 79 – 90.
25 (2): 79 – 90.
.
Palulungan,
J. A., Adiarto dan Hartatik. T. 2013. Pengaruh kombinasi pengkabutan dan kipas
angin terhadap kondisi fisiologis sapi perah Peranakan Friesian Holstein. Buletin Peternakan. 37
(3) : 189 – 197.
Prasetya H. 2012. Prospek
Cerah Beternak Sapi Perah. Pustaka Baru Press. Sleman Yogyakarta:
Pujiati, S. R. dan T. H. Indrianto. 2009. Perbedaan kandungan
bakteriologis susu segar ditinjau dari pemakaian desinfektan dan tanpa
desinfektan pada ambing sapi sebelum pemerahan. J. IKESMA 5 (1) : 31 - 45
Robichaud,
M.V., A. M. de Passillé, D. Pellerin and J. Rushen.
2011. When and where do dairy cows defecate and urinate. J. Dairy
Sci. 94:4889 – 4896.
Rumetor,
S.D. 2003. Stres Panas Pada Sapi Perah Laktasi. Makalah Falsafah Sains. Program Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Rusdiana,
S dan W. K. Sejati. 2009. Upaya
pengembangan agribisnis sapi perah dan
peningkatan produksi susu melalui pemberdayaan koperasi susu. J. Forum
Penelitian Agro Ekonomi 27 (1): 43 –
51.
Sangbara,
Y. 2011. Pengaruh Periode Laktasi Terhadap Produksi Susu Pada Sapi Perah Fries
Holland di Kabupaten Enrekang. Universitas Hasanuddin, Makasar. (Skripsi)
Sawitri
M.E. 2012. Kajian konsentrasi kefir grain dan lama
simpan dalam refrigerator terhadap kualitas kimiawi kefir rendah lemak. Jurnal
Ilmu-ilmu Peternakan. 2 (1): 89 - 99.
Siregar,
S. B. 1996. Konsep Peraturan Makanan Ternak Tentang Standar Makanan Sapi Perah.
Usaha Angkasa, Bandung.
Soetarno,
T. 2003.
Manajemen Budidaya Sapi Perah. Fakultas
Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Suherman,
D., B. P.Purwanto., W. Manalu dan Permana. 2013. Simulasi artificial network untuk menentukan suhu kritis pada sapi perah
Fries Hollamd berdasarkan respon fisiologis. J. ITV 18 (1): 70 - 80.
Supriyati. 2008. Pengaruh
suplementasi probiotik dalam peningkatan produksi dan kualitas susu sapi perah
di tingkat peternak. Prosiding ‘Prospek
Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. Puslitbangnak bekerjasama dengan Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia. Jakarta.
Sutopo. 2001. Pengaruh Pemberian PMSG Terhadap Pertumbuhan Ambing Ban
Prqeiiukse Susu Pada Sapi Perah. Universitas Diponegoro, Semarang. (Tesis)
Syarif dan H. Bagus.
2011. Beternak dan Bisnis Sapi
Perah. PT. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Talib,
C. H., T. Sugiarti and A. R. Siregar.
2002. Friesian Holstein and their
adaptability to the tropical environment in Indonesia. International Training on Strategies for
Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan
Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26th – 31th, 2002, Tainan,
Taiwan, ROC.
Utomo. B., D. P. Miranti.,
dan G. C. Intan. 2009. Kajian Termoregulasi Sapi Perah Periode Laktasi dengan
Introduksi Teknologi Peningkatan Kualitas Pakan. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. 263 – 268.
Utomo,
B dan D. P. Miranti. 2010. Tampilan
produksi susu sapi perah yang mendapat perbaikan manajeman pemeliharaan. Caraka Tani.
25 (1): 55 - 67.
Vaughan
Alison, Anne Marie de Passillé, Joseph Stookey, and Jeffrey Rushen. 2014. Urination
and defecation by group-housed dairy calves.
J. DairySci. 97: 1 – 7
Wardyaningrum,
D. 2011. Tingkat kognisi tentang konsumsi susu pada ibu peternak sapi perah
Lembang Jawa Barat. J. Al Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial. 1 (1) : 19 – 26.
Winarso,
D. 2008.
Hubungan kualitas susu dengan keragaman genetik dan prevalensi mastitis
subklinis di daerah jalur susu Malang sampai Pasuruan. J. Sain
Vet. 26 (2): 58 - 65.
Yani, A. dan Purwanto.
B., P. 2006. Pengaruh iklim mikro terhadap respons
fisiologis sapi peranakan friesian Holstein dan modifikasi lingkungan untuk meningkatkan
produktivitasnya. J. Media Peternakan 29 (1): 35 – 46.
Yani,
A., Suhardiyanto., H. Hasbullah dan B. P.
Purwanto. 2007. Analisis dan
simulasi distribusi suhu udara pada kandang sapi perah menggunakan Computational Fluid Dinamics (CFD). J.
Media Peternakan 3 (3): 218 – 228.
1.
Pukul
18.00 WIB
BGT = 24,5
R=ᵟT4
=
4,903 x 10-8(24,5 + 273)4
= 384.07 Kcal/m2/jam
2.
Pukul
24.00 WIB
BGT = 24
R=ᵟT4
=
4,903 x 10-8(24 + 273)4
= 381,49 Kcal/m2/jam
3.
Pukul 06.00
WIB
BGT = 24
R=ᵟT4
=
4,903 x 10-8(24 + 273)4
= 381,49 Kcal/m2/jam
4.
Pukul
12.00 WIB
BGT = 28,5
R=ᵟT4
=
4,903 x 10-8(28,5 + 273)4
= 405,14 Kcal/m2/jam
5.
Pukul
18.00 WIB
BGT = 26
R=ᵟT4
=
4,903 x 10-8(26 + 273)4
= 391.87 Kcal/m2/jam
Rata-rata = 388,81 Kcal/m2/jam
Lampiran
2. Perhitungan Berat Jenis Susu
- Susu
Segar
Berat
Jenis = Berat jenis terukur – (27,5 – T) x 0,0002
= 1,030 – (27,5 – 26) x
0,0002
= 1,0297
- Susu
UHT
Berat
Jenis = Berat jenis terukur – (27,5 – T) x 0,0002
= 1,022 – (27,5 – 25,5) x 0,0002
= 1,0216
Lampiran 3. Dokumentasi Praktikum
Foto Kelompok III Pengukuran
Berat Jenis Susu
|
|
|
|
Pengukuran Denyut Nadi Pengukuran
Frekuensi Nafas
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar