Senin, 01 Juni 2015

Laporan Praktikum Produksi Ternak Perah

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
PRODUKSI TERNAK PERAH









Disusun oleh :
KELOMPOK : III









PROGRAM STUDI S-1 PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015


Judul                                      : LAPORAN RESMI PRAKTIKUM PRODUKSI
                                                   TERNAK PERAH

Kelompok / Kelas                : TIGA / A

Program Studi / Jurusan    : S-1 PETERNAKAN / PETERNAKAN  

Fakultas                                 : PETERNAKAN DAN PERTANIAN

Tanggal Pengesahan           :                       MEI 2015






Menyetujui,
Koordinatur Umum Asisten




Andri Wibowo, S.Pt.
NIM. 23010111120026
Asisten Pembimbing




Syahrizal Bobi Kurniawan
NIM. 23010112140282


Mengetahui,




drh. Dian Wahyu Harjanti, Ph.D.    NIP. 19801214 200501 1 001

 

KATA PENGANTAR

Sapi perah merupakan ternak penghasil susu yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Produktivitas sapi perah dipengaruhi oleh beberapa aspek. Pakan yang baik akan meningkatkan produktivitasnya, selain itu lingkungan dalam dan luar kandang yang nyaman akan mendukung peningkatan produksi sapi perah. Lingkungan dalam dan luar kandang dapat diketahui dengan mengukur suhu, kelembapan dan radiasi matahari. Perubahan lingkungan  mampu mempengarui perubahan fisiologis ternak berupa suhu tubuh, frekuensi nafas, frekuensi denyut nadi, frekuensi urinasi, frekuensi defekasi dan tingkat konsumsi air minum. Sapi perah akan memiliki produksi yang berkualitas tinggi apabila berada pada keadaan yang nyaman. Kualitas susu dapat dilihat dari berat jenis yang terkandung di dalamnya.
 Puji Tuhan yang Maha Kuasa, karena dengan rahmat dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan laporan praktikum produksi ternak perah. Kami mengucapkan terima kasih kepada Ir. Teguh Hari Suprayogi, M.Si., selaku dosen pengampu mata kuliah produksi ternak perah yang telah memberikan materi sebagai pedoman bagi kami dalam melaksakan praktikum ini.  Andri Wibowo, S.Pt., selaku koordinator umum asisten dan Syahrizal Bobi Kurniawan selaku asistan pembimbing yang telah membimbing kami dalam pelaksanaan praktikum maupun penyusunan laporan praktikum. 
Kami juga menyadari, bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami berharap kritik dan saran baik dari pembaca, dosen, asisten pembimbing maupun rekan-rekan yang bersifat membangun dan bermanfaat bagi kami untuk pembuatan laporan yang akan datang.  Semoga Tuhan yang Maha Kuasa melimpahkan rahmat-nya bagi kita semua. Kami mengucapkan terima kasih atas perhatiannya.                                                           
 

Semarang. Mei 2015
    
      Penulis


RINGKASAN

Kelompok III . 2015. Laporan Resmi Praktikum Produksi Ternak Perah (Asisten : Syahrizal Bobi Kurniawan).

            Praktikum Produksi Ternak Perah dengan materi Fisiologi Lingkungan, Fisiologi Ternak dan Recording dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 18 April 2015 pukul 18.00 – 18.00 WIB di kandang sapi perah, materi Anatomi Biologis Ambing dan Berat Jenis Susu dilaksanakan hari Rabu tanggal 22 April 2015 pukul 15.00 – 17.00 WIB di Laboratorium Produksi Ternak Potong dan Perah Divisi Ilmu Ternak Perah, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.
Materi yang digunakan adalah air, sapi perah nomer 2031, preparat awetan ambing sapi, susu segar, susu kemasan (Ultra Milk), narasumber, hygrometer, black globe temperature, meteran, termometer klinis, tisu basah, stetoskop, stopwatch, nampan, gelas ukur dan laktodensimeter. Hygrometer digunakan untuk mengukur suhu dan kelembaban, black globe temperature untuk mengukur radiasi matahari, meteran untuk mengukur kandang, termometer klinis untuk mengukur suhu tubuh sapi, tisu basah untuk membersihkan termometer klinis, stetoskop untuk mengukur denyut nadi sapi, stopwatch untuk mengukur waktu, nampan untuk wadah preparat, gelas ukur untuk wadah susu dan laktodensimeter untuk mengukur suhu dan berat jenis susu.
Berdasarkan praktikum fisiologi lingkungan diperoleh hasil bahwa suhu dalam kandang 26,6ºC, suhu luar kandang 26,5ºC, kelembaban dalam kandang 73,9%, kelembapan luar kandang 75,0%, radiasi matahari 388,81 kkal m-2 jam-1  dan evaluasi perkandangan sudah baik. Fisiologi ternak  diperoleh hasil suhu tubuh 38,55ºC, denyut nadi 60 kali/menit, frekuensi nafas 36 kali/menit, jumlah konsumsi air minum 22,1 liter, frekuensi defekasi, 11 kali/hari, dan frekuensi urinasi 8 kali/hari. Recording sapi perah diperoleh hasil umur sapi 4,5 tahun dikawinkan dengan inseminasi buatan pada Februari 2014, dan sapi belum pernah terkena penyakit. Anatomi eksterior ambing teridiri dari outer wall, medial suspensory ligament, lateral suspensory ligament, membrane vine, bulu, dan puting. Anatomi interior ambing terdiri dari alveoli, gland cistern, teat cistern, annular fold dan teat meatus. Setiap bagian memiliki fungsi masing-masing dalam pembentukan susu dan proses pengeluarannya Berat jenis susu segar 1,0297 dan susu olahan memiliki berat jenis 1,0216.


 

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................................... iii
RINGKASAN............................................................................................................. v
DAFTAR TABEL................................................................................................... viii
DAFTAR ILUSTRASI.............................................................................................. IX
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................... X
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................. 2
2.1. Sapi Perah Frisian Holstein...................................................................... 2
2.2. Fisiologi Lingkungan Sapi Perah.............................................................. 2
2.3. Fisiologi Ternak Sapi Perah...................................................................... 4
2.4. Anatomi Biologis Ambing....................................................................... 8
2.5. Susu Sapi Perah...................................................................................... 12

BAB III METODOLOGI........................................................................................... 15
3.1. Materi..................................................................................................... 15
3.2. Metode................................................................................................... 16
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................. 21
4.1. Fisiologi Lingkungan.............................................................................. 21
4.2. Fisiologi Ternak...................................................................................... 26
4.3. Anatomi Biologis Ambing..................................................................... 31
4.4. Berat Jenis Susu..................................................................................... 36
4.5. Recording............................................................................................... 37
BAB V SIMPULAN DAN SARAN......................................................................... 39
5.1. Simpulan................................................................................................. 39
5.2. Saran....................................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 40
Lampiran............................................................................................................... 45



DAFTAR TABEL

Nomor                                                                                                                         Halaman









 DAFTAR ILUSTRASI
Nomor                                                                                                                         Halaman
1. Kandang Tampak Dalam (Kiri) dan Tampak Luar (Kanan) 25
2. Bagian-bagian Eksterior Ambing 31
3. Bagian-bagian Interior Ambing 33
4.  Diagram Alir Proses Pengeluaran Susu. 35













 

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor                                                                                                                         Halaman
1. Perhitungan Radiasi matahari 45
2. Perhitungan Berat Jenis Susu 46
3. Dokumentasi Praktikum 47

 













 





BAB I
PENDAHULUAN

Ternak perah merupakan ternak yang mempunyai fungsi sebagai penghasil susu.  Produktivitas ternak perah dipengaruhi kondisi fisiologi lingkungan yang meliputi  suhu udara, kelembapan, radiasi matahari yang mampu mempengaruhi kenyamanan ternak, serta kondisi fisiologi ternak meliputi suhu tubuh, frekuensi denyut nadi dan frekuensi respirasi.  Recording berguna untuk memberi keterangan tentang individu sapi maupun secara keseluruhan sehingga membantu peternak dalam mengambil keputusan yang sifatnya teknis dan ekonomis.  Ambing merupakan karakteristik utama pada mamalia yang berasal dari kelenjar keringat yang ditutup oleh bulu kecuali pada bagian putingUji berat jenis susu dilakukan untuk mengetahui kualitas susu. 
Praktikum ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan hubungan antara fisiologi lingkungan dengan fisiologi ternak, mengenal dan mengetahui aspek-aspek rekording serta mengetahui anatomi ambing dan mengukur kualitas susu berdasarkan berat jenis.  Manfaat praktikum ini adalah praktikan dapat mengetahui cara pengukuran fisiologi lingkungan dan fisiologi ternak, rekording, anatomi ambing dan pengukuran berat jenis susu.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sapi Perah Frisian Holstein

            Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan persilangan antara sapi Friesian Holstein (FH) dengan sapi lokal Indonesia (Affandi, 2009).  Karakteristik pada sapi PFH adalah memiliki corak belang hitam putih atau merah putih, punggung agak melengkung ke atas, bentuk ambing seperti cawan dengan puting susu yang kecil dan bervariasi  teksturnya, pada dahi terdapat bulu putih yang berbentuk segitiga (Makin, 2011).

2.2. Fisiologi Lingkungan Sapi Perah

Faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas dari seekor ternak  antara lain  suhu udara, kelembapan udara, radiasi matahari, dan kecepatan angin (Yani dan Purwanto, 2006).  Kendala yang mempengaruhi produktivitas sapi perah adalah suhu udara dan kelembapan udara (Arnold et al., 2013).

2.2.1. Suhu lingkungaan
Suhu lingkungan  di daerah perkembangan sapi perah Friesian Holstein berkisar antara 5 - 15°C ( Yani dan Purwanto, 2006).  Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki suhu udara 24 - 34°C dan menyebabkan penurunan kinerja sapi perah meliputi kuantitas dan kualitas susu (Arnold et al., 2013). 

2.2.2. Kelembapan
Negara tropis memiliki tingkat kelembapan udara rata-rata sebesar 60 – 90% (Yani et al., 2007).  Tingkat suhu udara dan kelembapan udara yang tinggi akan mengakibatkan penurunan produksi susu pada sapi peranakan Frisien Hollstein. (Arnold et al.,  2013)

2.2.3. Radiasi matahari
            Ternak dengan bulu yang pendek dengan warna terang serta memiliki tekstur kulit yang halus dan mengkilap adalah baik sekali untuk mengatasi pengaruh pancaran panas radiasi matahari (Talib et al., 2002). Radiasi matahari adalah pemindahan panas suatu benda ke benda lain tanpa bersentuhan.  Arus panas radiasi mengalir tanpa bantuan bahan pengantar atau media dan dapat melewati ruang hampa udara.   Cekaman panas sapi FH akibat radiasi matahari bisa mencapai 77,38%.   Kondisi ini terjadi mulai pukul 10.30 dan sapi FH akan mengalami cekaman panas maksimal dari radiasi matahari tersebut pada pukul 13.00 – 14.00 dimana pada waktu tersebut nilai intensitas radiasi matahari dapat mencapai 480 kkal/m2/jam
 (Yani et al., 2007).  Dominannya warna putih pada seekor sapi FH menyebabkan pancaran radiasi yang diserap kulit sapi FH akan lebih kecil (warna putih dapat menyerap 20% pancaran radiasi sinar matahari, dan warna hitam bisa mencapai 98%) (Yani dan Purwanto, 2006).

2.2.4. Perkandangan sapi perah
            Perkandangan merupakan kompleks tempat tinggal ternak dan pengelola yang digunakan untuk melakukan kegiatan proses produksi ternak.  Pembuatan kandang sapi perah diperlukan beberapa persyaratan yaitu : terdapat ventilasi, memberikan kenyamanan pada sapi perah, mudah dibersihkan dan memberi kemudahan bagi pekerja kandang dalam melakukan pekerjaannya (Soetarno, 2003).  Sistem perkandangan sapi perah ada dua jenis yaitu stanchion barn dan loose house.   Stanchion barn yaitu sistem perkandangan dimana hewan diikat sehingga gerakannya terbatas sedangkan loose house yaitu sistem perkandangan dimana hewan dibiarkan bergerak namun dengan batas-batas tertentu (Syarif dan Bagus, 2011).

2.3. Fisiologi Ternak Sapi Perah

Suhu serta kelembapan udara merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi fisiologis sapi seperti frekuansi nafas (Yani dan Purwanto, 2006).  Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi frekuensi nafas, meliputi jenis ternak, bangsa, individu, umur, jenis kelamin dan kondisi ternak, serta faktor eksternal antara lain lingkungan, aktivitas dan tekanan (stress) serta suhu sekitar (Rumetor, 2003).  Suhu tubuh normal sapi perah FH sekitar 38 – 39,50C (Palulungan et al., 2013).
2.3.1. Suhu tubuh

Pengukuran temperatur tubuh dimaksudkan untuk mengetahui temperatur dalam tubuh ternak.  Temperatur tubuh akan meningkat apabila ternak tidak dapat menjaga kondisi tubuhnya melalui pernafasan dan denyut jantung pada saat terjadi perubahan temperatur dan kelembapan lingkungan (Churng, 2002).  Suhu tubuh akan meningkat apabila ternak tidak dapat menjaga kondisi tubuhnya melalui pernafasan dan denyut jantung pada saat terjadi perubahan temperatur dan kelembapan lingkungan (Rumetor, 2003).   

2.3.2. Denyut nadi
Denyut nadi pada daerah comfort zone akan konstan tetapi apabila telah melewati batas tolerir comfort zone maka denyut nadi akan mengalami peningkatan (Frandson, 1992).  Faktor yang dapat mempengaruhi denyut nadi adalah konsumsi pakan, umur, aktivitas otot, kebuntingan, stress dan suhu udara (Budianto, 2012). kisaran denyut jantung normal untuk sapi perah antara 50 - 80 kali/menit.  Faktor yang mempengaruhi frekuensi denyut nadi adalah suhu lingkungan
(Suherman et al., 2013)

2.3.3. Frekuensi nafas
Fungsi lain dari pernapasan adalah membantu regulasi keasaman cairan ekstra seluler dalam tubuh, pengendalian suhu dan pembentukan suara.  Fungsi utama dari sistem pernapasan adalah untuk menyediakan oksigen untuk darah dan mengambil karbondioksida dari dalam darah.  Pernapasan terdiri atas dua proses penting yaitu proses inspirasi yang merupakan perbesaran thorax dari paru-paru disertai masuknya udara, dan proses ekspirasi yang merupakan penurunan dari ukuran dada disertai keluarnya udara (Frandson, 1992).  Frekuensi pernafasan sapi dalam keadaan normal berkisar 10 – 30 kali/menit.  Perubahan frekuensi pernafasan sejalan dengan peningkatan suhu udara, hal tersebut menyebabkan ternak meningkatkan frekuensi pernafasan untuk melepaskan panas (Utomo et al., 2009). Faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya frekuensi nafas antara lain adalah ukuran tubuh, umur, aktifitas ternak, suhu lingkungan, kesehatan ternak, dan posisi ternak (Nainggolan, 2013)

2.3.4. Konsumsi air minum
Konsumsi air minum untuk sapi hanya berkisar antara 30 - 40 liter per hari (Siregar, 1996). Sapi dara mengkonsumsi air minum sebanyak 10,58-12,76% dari bobot badan pada kondisi lingungan tidak nyaman dengan suhu lingkungan malam hari sekitar 24oC dan siang hari 33,34oC.  Konsumsi air minum pada sapi ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti suhu lingkungan, ukuran tubuh dan kelembapanlingkungan (Muljana, 1987).  Konsumsi air minum pada sapi perah pada lingkungan nyaman berkisar antara 3 - 3,5 liter/kilogram konsumsi bahan kering dan akan meningkat dalam kondisi cekaman panas.  Penurunan atau kenaikan konsumsi air minum dipengaruhi oleh suhu lingkungan, jumlah makanan, produktivitas dan suhu tubuh.  Meskipun secara umum keperluan air akan naik, hubungan konsumsi air yang diminum oleh ternak dengan kenaikan suhu lingkungan belum tentu mengalami kenaikan (Yani dan Purwanto, 2006). 

2.3.5. Frekuensi urinasi
Urinasi merupakan suatu yang dilakukan ternak dalam mengatur proses keseimbangan tubuh yaitu dengan cara membuang urin atau cairan yang tidak bermanfaat lagi bagi tubuh (Akoso, 2008).  Sapi perah mampu berurinasi selama 24 jam sebanyak 3 kali sampai 19 kali.  Frekuensi urinasi seekor ternak dipengaruhi oleh suhu lingkungan yang berkaitan dengan konsumsi air minum pada sapi perah (Robichaud et al.,  2011). 

2.3.6. Frekuensi defekasi
Standar frekuensi defekasi sapi perah selama 24 jam mengeluarkan feses sebanyak 6 sampai 8 kali dan mengeluarkan 8% dari berat badannya
(Soetarno, 2003).  F
rekuensi urinasi dan defekasi pada ternak dipengaruhi oleh suhu kandang, lingkungan dan pakan.  Frekuensi urinasi dan defekasi biasanya akan berhenti atau mencapai titik terendah ketika ternak beristirahat dan frekuensinya akan naik ketika diwaktu makan (Embertson et al., 2009).  Defekasi akan meningkat diwaktu jam–jam pemerahan dan pemberian pakan (Vaughan et al., 2014). 

2.4. Anatomi Biologis Ambing

Ambing terbagi menjadi empat kuartir yang masing-masing berfungsi memproduksi susu secara mandiri (Blakely dan Bade, 1994).  Ambing sapi dibagi menjadi 4 kuartir dan masing-masing kuartir memiliki 1 putting
(Frandson et al., 2009).
  Ambing sapi dibagi menjadi 4 kuartir, setiap kuartir memiliki satu puting.  Ambing pada kuartir bagian kanan dan kiri dipisahkan oleh ligamentum suspensori medialis, sedangkan kuartir ambing bagian depan (cranial) dan kuartir bagian belakang (caudal) dipisahkan oleh membran.  Ambing bagian depan menghasilkan produksi sebesar 40%, sedangakan ambing bagian belakang mampu memproduksi susu 60% untuk setiap harinya.  Ambing pada hewan ternak khususnya sapi, kaya akan produksi susu, lemak susu, dan kaya protein dengan suplai dari darah sehingga penting bagi peternak untuk memahami cara kerja ambing (Nelson, 2010). 

2.4.1. Perkembangan ambing
Pertumbuhan kelenjar susu dari lahir sampai pubertas terus mengalami perubahan, pada sapi muda pertumbuhan system duktus terus berlangsung dan hasilnya akan terlihat pada ambing sapi dewasa, ukuran kuartir pada ambing semakin bertambah sebagian pada kuartir belakang sampai pada timbunan jaringan lemak masing-masing menyatu menjadi satu dan bergabung pada dasar bagian ambing, berat ambing pada anak sapi dan bergabung pada dasar bagian ambin, berat ambing apada anak sapi sampai pubertas terus meningkat kapasitasnya (Mukhtar, 1997).  Fase pregnant mare serum gonadorrophin (PMSG) merupakan salah satu fase dimana terjadi perangsangan timbulnya birahi serta menimbulkan superovulasi pada sapi perah betina., dan terjadinya superovulasi ini akan meningkatkan keberhasilan perkawinan. Perkembangan ambing mengalami pertumbuhan pesat pada periode kebuntingan karena peran aktif dari korpus luteum untuk menghasilkan hormon progesteron yang bersama-sama dengan estrogen dan laktogen plasenta mengatur pemanjangan dan perbanyakan sistem saluran kelenjar ambing (Sutopo, 2001).  Pertumbuhan ambing dimulai 4 - 5 minggu setelah terjadi konsepsi (periode prenatal), lahir, dewasa (periode pubertas), pertumbuhan saat ternak bunting dan laktasi. Pertumbuhan ambing pada ternak mamalia sebelum fase kebuntingan berjalan lambat, tetapi pada saat ternak bunting pertumbuhan ambing sangat cepat dan mulai menurun pada saat laktasi (Lawrence dan Fowler, 2002).    

2.4.2. Anatomi dan fisiologi ambing
Kuartir belakang merupakan bagian yang besar dan menghasilkan susu 60% dari total produksi sedangkan bagian depan 40% dari total produksi (Sangbara, 2011).  Bagian eksternal ambing antara lain medial suspensory ligament, lateral suspensory ligament, membrane vine dan bagian internal ambing antara lain alveoli, milk ductus atau saluran susu, gland cistern, teat cistern, otot sfingter, annular fold, dan streak canalGland cistern merupakan tempat penampungan susu dari semua saluran, susu yang telah ditampung akan mengalir menuju teat cistern melewati annular fold yang didalamnya terdapat otot sfingter sebagai penahan susu di dalam ambing.  Streak canal yang ditutupi oleh otot sfingter merupakan pintu bukaan dair teat cistern sebelum keluar melewati teat meatus menuju ruang bebas. Ambing merupakan suatu kelenjar kulit yang sekelilingnya tertutupi oleh bulu, kecuali pada puting.  Ambing tampak seperti kantung yang berbentuk persegi empat yang terbagi menjadi dua bagian kiri dan kanan yang dipisahkan oleh satu lekukan yang memanjang disebut medial suspensory ligament.  Bagian ambing kanan dan kiri masing-masing dipisahkan menjadi dua bagian kuartir depan dan belakang oleh suatu membrane yang amat tipis disebut membrane vine (Blakely dan Bade, 1994).  Alveoli merupakan struktur utama penghasil susu yang dilapisi oleh sel epitel.  Susu yang dihasilkan kemudian disalurkan melalui sistem duktus menuju sinus lactiferous dan gland cistern untuk ditampung sebelum nantinya dikeluarkan melalui puting (Frandson et al., 2009). 

2.4.3. Pembentukan dan biosintesis susu
 Ambing mengandung kumpulan alveoli yang memiliki kemampuan untuk memproduksi susu. Susu yang diproduksi alveoli akan meningkat apabila ambing dalam keadaan kosong, sebaliknya susu yang diproduksi alveoli akan menurun apabila ambing telah terisi penuh. Biosintesis susu yang terjadi pada ambing meliputi biosintesis protein, lemak dan laktosa. (Rusdiana dan Sejati, 2009).  Air susu pada tubuh sapi dibuat oleh kelenjar susu di dalam ambing.  Kelenjar susu tersusun dari gelembung-gelembung susu sehingga berbentuk seperti buah anggur yang disebut alveoli.  Dinding gelembung tersebut merupakan sel-sel yang menghasilkan air susu yang  bahan baku pembentuknya adalah dari darah (Sangbara, 2011).  Biosintesis susu meliputi sintesis protein, sintesis lemak dan sintesis laktosa.  Bahan baku  untuk sintesis protein adalah asam amino bebas, plasma protein, dan peptide.  Protein susu disintesis oleh ambing, sedangkan untuk pembentukannya merupakan dari penggabungan-penggabungan asam amino.  Proses sintesis air susu terjadi pada sekretoris bagian ribosom dikontrol oleh gen-gen yang mengandung bahan genetik (DNA).  Sintesis protein susu meliputi 3 proses yaitu replikasi DNA, transkripsi DNA menjadi RNA dan translasi RNA menjadi protein (Aisyah, 2011).  Pencernaan selulosa dan hemiselulosa yang banyak terdapat pada hijauan, paling banyak diproduksi oleh mikroba rumen adalah asam asetat dan kemudian asam propionat.  Asam asetat langsung dapat digunakan oleh kelenjar susu untuk sintesis asam lemak susu.  Tiga puluh dua persen dari asam propionat yang diproduksi di rumen digunakan untuk sintesis glukosa (Musnandar, 2011).

2.4.4. Pengeluaran susu
Pengeluaran susu merupakan suatu reflek saraf yang dihasilkan oleh berbagai rangsangan.  Rangsangan yang diberikan pada ambing, akan mendorong hormon oksitosin untuk melepaskan susu keluar dari alveolus dan duktus–duktus kecil ke dalam tiap–tiap kuartir (Pujiati dan Indrianto, 2009).  Rangsangan syaraf seperti gerakan pedet menyusu, usapan, tekanan dan basuhan air hangat  menyebabkan lubang puting susu terbuka sehingga air susu dari ruang kisterna mengalir keluar (Sangbara, 2011).  Rangsangan tersebut menyebabkan hormon oksitosin dari lobus posterior kelenjar pituitary dan masuk ke aliran darah.  Oksitosin mencapai ambing dalam beberapa detik dan menyebabkan timbulnya kontraksi jaringan alveolus dan salura-saluran kecil sehingga  susu akan terdorong keluar (Blakely dan Bade, 1994).

2.5. Susu Sapi Perah

Susu sapi perah merupakan bahan pangan sumber protein yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat karena memiliki kandungan gizi yang tinggi dan komposisi yang lengkap (Utomo dan Miranti, 2010).  Susu merupakan bahan pangan yang banyak disukai oleh masyarakat karena mempunyai kandungan nutrisi yang sangat lengkap antara lain lemak, laktosa, protein, mineral, vitamin dan enzim (Winarso, 2008). 

2.5.1. Syarat susu sapi perah
Susu sapi yang baik harus memenuhi syarat-syarat antara lain susu harus mengandung nutrisi yang lengkap dan tidak tercemar mikroba, susu akan mengalami kerusakan karena adanya mikroba jika berada dalam suhu kamar lebih dari 4 jam (Wardyaningrum, 2011). Susu dianggap berkulalitas baik apabila di dalam susu tersebut memiliki kandungan gizi yang proporsinya seimbang dan mudah dicerna (Legowo et al., 2009).



2.5.2. Komponen susu
Kandungan vitamin dalam susu adalah sebesar 2 mg/100 (Nurliyani, 2003).  Komponen susu terdiri dari air, lemak, protein, laktosa, SNF (Solid Non Fat) atau bahan kering tanpa lemak dan Total Solid (TSL) (Winarso, 2008).  Kadar air dalam susu sebesar 87,5%, tingginya kadar air dalam susu terjadi karena air merupakan medium dispersersi lemak dan komponen yang larut dalam air susu, Komponen susu dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pakan, umur sapi, iklim dan waktu pemerahan  (Utomo dan Miranti 2010).  Komposisi susu terdiri dari 3,7% lemak susu, 4,9% laktosa dan 3,5% protein (Prasetya, 2012). 

2.5.3. Berat jenis susu
Berat jenis susu berbanding terbalik degan jumlah kadar lemak susu, jika kadar lemak susu tinggi maka berat jenis susu semakin rendah, begitu juga apabila kadar lemak susu rendah maka berat jenis susu meningkat (Mardalena, 2008).  Berat Jenis susu segar standar adalah sebesar 1,028 (Miskiyah, 2011).  Tingginya TS (Total Solid) dan lemak yang terkandung dalam susu maka akan semakin tinggi kualitas susu tersebut.  Kualitas susu dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pakan, lingkungan, ternak, dan umur ternak (Nurhadi, 2010). Susu yang telah mengalami penyimpanan maka mengalami fermentasi secara anaerob.  Bakteri dalam susu akan menggunakan laktosa dan kasein untukfermentsi menghasilkan asam laktat.  Semakin lama penyimpanan semakin banyak asam laktat yang terbentuk dan kandunga laktosa dalam susu semakin menurun (Sawitri, 2012).  Semakin lama penyimpanan susu, maka berat jenis susu semakin meningkat (Ismanto et al., 2013).   

2.6. Recording
Recording merupakan sistem pencatatan yang efisien karena pencatatan dapat dilakukan dengan lebih sederhana tetapi cukup akurat untuk digunakan dalam pendugaan kurva produksi ataupun nilai pemuliaan (Indrijani dan Anang,  2002). Recording terutama dilakukan pada peternakan besar harus diarahkan kepada seleksi berdasarkan nilai pemuliaan ternak agar kemajuan genetiknya lebih cepat dan terkontrol (Nena, 2005).


BAB III
METODOLOGI

Praktikum Produksi Ternak Perah dengan materi Fisiologi Lingkungan, Fisiologi Ternak dan Recording dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 18 April 2015 pukul 18.00 – 18.00 WIB di kandang sapi perah, materi Anatomi Biologis Ambing dan Berat Jenis Susu dilaksanakan hari Rabu tanggal 22 April 2015 pukul 15.00 – 17.00 WIB di Laboratorium Produksi Ternak Potong dan Perah Divisi Ilmu Ternak Perah, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.

3.1. Materi

Materi yang digunakan adalah air, sapi perah nomer 2031, preparat awetan ambing sapi, susu segar, susu kemasan (Ultra Milk) dan narasumber.  Alat yang digunakan dalam praktikum adalah hygrometer untuk mengukur suhu dan kelembapan, black globe temperature untuk mengukur radiasi matahari, meteran untuk mengukur kandang, termometer klinis untuk mengukur suhu tubuh sapi, tisu basah untuk membersihkan termometer klinis, stetoskop untuk mengukur denyut nadi sapi, stopwatch untuk mengukur waktu, nampan untuk wadah preparat, tabung ukur untuk wadah susu dan laktodensimeter untuk mengukur suhu dan berat jenis susu.


3.2. Metode

3.2.1. Fisiologi lingkungan
            Metode yang dilakukan pada fisiologi lingkungan adalah dengan mengukur suhu lingkungan, kelembapan dan radiasi matahari. Mencatat hasil pengukuran pada lembar laporan sementara dan mengukuru nilai radiasi matahari menggunakan rumus.

3.2.1.1. Suhu lingkungan, metode yang digunakan dalam praktikum produksi ternak perah dengan materi suhu lingkungan adalah mengamati suhu lingkungan makro dan mikro menggunakan alat hygrometer, kemudian membaca suhu yang terukur pada hygrometer. Suhu yang terukur kemudian dicatat pada lembar laporan sementara. 

3.2.1.2. Kelembapan, metode yang digunakan dalam praktikum produksi ternak perah dengan materi kelembapan udara adalah mengamati kelembapan udara pada hygrometer dalam kandang dan luar kandang, kemudian membaca kelembapan yang terukur pada hygrometer. Kelembapan yang terukur kemudian dicatat pada lembar laporan sementara.

3.2.1.3. Radiasi matahari, metode yang dilakukan dalam pengukuran radiasi matahari adalah dengan cara membaca skala teermometer pada black globe temperature. Skala yang terbaca kemudian digunakan untuk menghitung nilai radiasi matahari. Perhitungan nilai radiasi matahari adalah dengan rumus  :


R = δT4
Keterangan :
δ
 
R         = Radiasi matahari (Kcal m-2 jam-1)
        = Konstanta Stefann Boltzman (4,903x10-8)
T          = suhu mutlak dalam Kelvin (273 + ºC)

3.2.1.4. Perkandangan sapi perah, menggunakan metode pengamatan pada kandang secara langsung, dimana praktikan melakukan pengamatan mengenai kondisi kandang, mengukur panjang kandang, lebar kandang, tinggi kandang, tinggi atap luar, tinggi atap dalam, panjang tempat pakan dan minum, lebar tempat pakan dan minum, tinggi tempat pakan dan minum, kemiringan lantai, jarak kandang dengan pembuangan limbah, lebar dan tinggi pintu, gudang pakan, bak penampungan air, panjang selokan, lebar selokan, kedalaman selokan dan bahan pembuat atap dan lantai. Hasil pengukuran dicatat pada lembar laporan sementara.

3.2.2. Fisiologi ternak
            Metode yang digunakan dalam fisiologi ternak adalah dengan mengukur suhu tubuh melalui rektal sapi perah, menghitung  denyut nadi dan frekuensi nafas selama satu menit. Mencatat hasil pengukuran pada lembar laporan sementera.

3.2.2.1. Suhu tubuh, menggunakan metode mengukur temperatur tubuh atau pengukuran suhu tubuh dengan cara memasukkan termometer klinis ke dalam rektum sapi hingga berbunyi yang menandakan suhu tubuh sudah stabil, kemudian melihat angka yang ditunjukkan oleh termometer klinis.   Pengukuran suhu tubuh dilakukan secara duplo atau dilakukan sebanyak dua kali.

3.2.2.2. Denyut nadi,  metode yang digunakan dalam pengukuran denyut nadi adalah melalui perabaan bagian denyut nadi pada bagian pangkal ekor sapi dengan menggunakan tangan dan merasakan denyut nadi sapi.  Perhitungan dilakukan dengan merasakan denyut nadi selama satu menit.

3.2.2.3. Frekuensi pernafasan, metode yang digunakan dalam pengukuran  frekuensi pernafasan dilakukan dengan tahapan melakukan handling sapi sehingga sapi tenang.  Mengukur kecepatan pernafasan dengan menempelkan telapak di dekat lubang hidung sapi perah, setiap tarikan dan hembusan nafas dihitung satu kali pernafasan.  Pengukuran dilakukan selama satu menit.

3.2.2.4. Konsumsi air minum, metode yang digunakan dalam pengukuran konsumsi air minum dilakukan dengan mengisi cup air minum secara ad-libitum. Mencatat waktu pengisian dan menghitung jumlah frekuensi pengisian.

3.2.2.5. Frekuensi urinasi, metode yang dilakukan dalam frekuensi urinasi dengan cara mengamati selama 24 jam setiap sapi melakukan urinasi. Mencatat waktu pada saat sapi perah mengeluarkan urin.
3.2.2.6. Frekuensi defekasi, metode yang dilakukan dalam frekuensi urinasi dengan cara mengamati selama 24 jam setiap sapi melakukan defekasi. Mencatat waktu pada saat sapi perah mengeluarkan feses.

3.2.3.  Anatomi biologis ambing

Metode yang dilakukan adalah menyiapkan preparat ambing sapi perah yang telah di awetkan. Mengamati secara langsung ambing (awetan) yang telah disediakan kemudian mendiskusikan bagian-bagian ambing serta fungsinya dan memepersentasikan hasil pengamatan.

3.2.4. Pengukuran berat jenis susu

Metode yang digunakan adalah menyiapkan susu segar dan susu UHT masing-masing 500 ml, susu kemudian dikocok terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam tabung ukur 500 ml. Laktodensimeter dimasukkan ke dalam tabung ukur yang telah terisi susu secara perlahan.  Laktodensimeter yang telah stabil kemudian dibaca skala dan suhu yang ditunjukkan di permukaan susu.  Suhu dan berat jenis yang terukur kemudian dicatat dalam lembar laporan sementara. 
Menghitung berat jenis susu dengan rumus :
Berat Jenis = Berat jenis terukur – (27,5 – T) X 0,0002
Keterangan:
T = suhu terukur

3.2.5. Recording
            Recording dilakukan dengan mewawancarai langsung kepada pak Marno sebagai penjaga kandang sekaligus narasumber mengenai pencatatan identitas sapi, produksi sapi, riwayat penyakit yang pernah diderita dan riwayat keberhasikan reproduksi sapi. Hasil wawancara kemudian dicatat pada lembar laporan sementara.




BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Fisiologi Lingkungan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa salah satu faktor penentu kuantitas dan kualitas produksi susu pada sapi perah adalah lingkungan.  Faktor fisiologi lingkungan dalam hal ini meliputi suhu udara, tingkat kelembapan pada udara, dan radiasi matahari.  Menurut Yani dan Purwanto (2006) faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas sapi perah meliputi suhu udara, kelembapan udara, radiasi matahari, dan kecepatan angin.  Ditambah pendapat Arnold (2013) bahwa salah satu kendala yang mempengaruhi produktivitas sapi perah adalah suhu udara dan kelembapan udara.
No.
Jam
Suhu
Kelembapan
Radiasi Matahari
Dalam
Luar
Dalam
Luar


-----°C-----
-----%-----
--kkal m-2 jam-1--
1.
18.00
27,5
27,1
71,0
72,0
384,07
2.
24.00
25,5
25,0
80,0
80,0
381,49
3.
06.00
25,0
25,0
81,5
80,0
381,49
4.
12.00
28,0
27,9
65,0
68,0
405,14
5.
18.00
27,0
27,5
72,0
74,0
391,87

Rerata
26,6
26,5
73,9
75,0
388,81






Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015. 

4.1.1. Suhu lingkungan
Berdasarkan Tabel 1. diperoleh bahwa suhu lingkungan mikro sebesar 26,6°C dan suhu makro sebesar 26,5°C. Suhu lingkungan merupakan tingkat derajat panas yang diterima oleh tubuh hewan ternak, dalam hal ini adalah sapi PFH.  Suhu mikro adalah besarnya suhu yang berada di dalam kandang, sedangkan suhu makro adalah besarnya suhu yang berada di lingkungan luar kandang.  Tingginya tingkat suhu udara ini akan mengurangi kinerja sapi karena menyebabkan cekaman panas yang akan berimbas pada penurunan jumlah produksinya.  Hal ini sesuai dengan pendapat Yani dan Purwanto (2006) bahwa temperatur suhu di daerah asal sapi perah Friesian holstein adalah 5 - 15°C.  Ditambahkan pendapat dari Arnold et al.  (2013) bahwa Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki suhu udara 24 - 34°C dan menyebabkan penurunan kinerja sapi perah meliputi kuantitas dan kualitas susu.

4.1.2.   Kelembapan
Berdasarkan Tabel 1. diperoleh hasil bahwa kelembapan udara merupakan besarnya uap air yang ada di udara bebas.  Tingginya kelembapan udara menyebabkan terjadinya cekaman panas pada hewan ternak dalam hal ini adalah sapi jenis PFH.  Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa rata-rata kelembapan udara mikro dan makro adalah 73,9% dan 75%.  Hal ini sesuai dengan pendapat Yani et al.  (2007) bahwa negara tropis memiliki tingkat kelembapan udara sebesar 60 – 90%.  Tingkat kelembapan yang tinggi akan mempengaruhi produktivitas sapi PFH.  Hal ini sesuai dengan Arnold et al.  (2013) bahwa tingkat suhu udara dan kelembapan udara yang tinggi akan mengakibatkan penurunan produksi susu pada sapi PFH.

4.1.3. Radiasi matahari
Berdasarkan Tabel 1. diperoleh radiasi matahari tertinggi terjadi pada pukul 12.00 WIB yaitu sebesar 405,14 Kcal m-2 jam-1.  Sapi FH sudah mengalami cekaman panas pada kondisi ini, radiasi matahari secara langsung terhadap sapi perah FH yang mengakibatkan sapi tidak nyaman.   Hal ini sesuai dengan pendapat Yani et al. (2007) yang menyatakan bahwa cekaman panas sapi FH akibat radiasi matahari bisa mencapai 77,38%.  Kondisi ini terjadi mulai pukul 10.30 dan sapi FH akan mengalami cekaman panas maksimal dari radiasi matahari tersebut pada pukul 13.00 – 14.00 dimana pada waktu tersebut nilai intensitas radiasi matahari dapat mencapai 480 kkal/m2/jam.   Talib et al. (2002) mengatakan bahwa ternak dengan bulu yang pendek dengan warna terang serta memiliki tekstur kulit yang halus dan mengkilap adalah baik sekali untuk mengatasi pengaruh pancaran panas radiasi matahari. Ditambahkan oleh Yani dan Purwanto (2006) yang menyatakan bahwa dominannya warna putih pada seekor sapi FH menyebabkan pancaran radiasi yang diserap kulit sapi FH akan lebih kecil (warna putih menyerap 20% pancaran radiasi sinar matahari, dan warna hitam bisa mencapai 98%).


4.1.4. Perkandangan
            Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan sistem perkandangan di Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang dilihat dari aspek-aspek perkandangan sudah termasuk dalam kategori baik namun perlu ditingkatkan sanitasinya.  Perkandangan merupakan suatu lokasi atau lahan khusus yang diperuntukkan sebagai sentra kegiatan peternakan yang didalamnya terdiri atas bangunan utama (kandang), bangunan penunjang seperti gudang pakan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan pakan ternak selama dalam jangka waktu tertentu, kandang isolasi yang berfungsi untuk memisahkan ternak yang sehat dengan ternak yang sakit sehingga ternak yang sehat tidak mudah tertular penyakit, dan perlengkapan lainnya.  Hal ini sesuai dengan pendapat Soetarno (2003) yang menyatakan bahwa perkandangan merupakan kompleks tempat tinggal ternak dan pengelola yang digunakan untuk melakukan kegiatan proses produksi ternak.   Dalam pembuatan kandang sapi perah diperlukan beberapa persyaratan yaitu : terdapat ventilasi, memberikan kenyamanan pada sapi perah, mudah dibersihkan dan memberi kemudahan bagi pekerja kandang dalam melakukan pekerjaannya.   Ditambahkan oleh pendapat Syarif dan Bagus (2011) yang menyatakan bahwa sistem perkandangan sapi perah ada dua jenis yaitu stanchion barn dan loose house.   Stanchion barn yaitu sistem perkandangan dimana hewan diikat sehingga gerakannya terbatas sedangkan loose house yaitu sistem perkandangan dimana hewan dibiarkan bergerak namun dengan batas-batas tertentu.


                        Parameter
Ukuran
Panjang Kandang (m)
12,6
Lebar Kandang (m)
8,2
Tinggi Kandang (m)
4,22
Panjang palung (m)
9,2
Lebar palung (cm)
55
Kedalaman palung (cm)
50
Tinggi palung (cm)
63
Panjang selokan (m)
9,43
Lebar selokan (cm)
26
Kedalaman selokan (cm)
8
Lebar  flock (cm)
199
Panjang flock (cm)
190
Tinggi flock (cm)
129
Kamar susu (m2)
10,56


Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
Ilustrasi 1.  Kandang Tampak Dalam (Kiri) dan Tampak Luar (Kanan)

Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.

4.2. Fisiologi Ternak

Pengamatan fisiologi ternak sapi perah  meliputi pengukuran suhu tubuh, denyut nadi dan frekuensi nafas.   Menurut Yani dan Purwanto (2006) kisaran suhu tubuh normal pada sapi FH adalah 38,5 – 39,60C dengan suhu kritis 400C, kisaran normal denyut nadi  60 - 70 kali/menit dan rata- rata  frekuensi nafas tiap menit dalam keadaan istirahat adalah 20 kali.   Rumetor (2003) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi fisiologis ternak, meliputi jenis ternak, bangsa, individu, umur, jenis kelamin dan kondisi ternak, serta faktor eksternal antara lain lingkungan, aktivitas dan tekanan (stress) serta suhu sekitar. 

No.
Jam
Suhu Tubuh
Denyut Nadi
Frekuensi Nafas


-----°C-----
----------kali/menit----------
1.
18.00
38,8
58
33
2.
24.00
38,55
57
31
3.
06.00
37,85
54
28
4.
12.00
38,8
66
52
5.
18.00
39,05
67
40

Rerata
38,55
60,8
36,9





Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.


4.2.1. Suhu tubuh
            Berdasarkan Tabel 3. diperoleh rata-rata suhu tubuh 38,550C.   Hal tersebut sesuai standar normal yang dikemukakan oleh Palulungan et al. (2013) yang menyatakan bahwa suhu tubuh normal sapi perah FH sekitar 38 – 39,50C.   Hal ini menandakan bahwa indikasi stres panas yang dialami oleh sapi perah belum parah, kemungkinan stres panas tersebut telah cukup diantisipasi dengan sistem pengurangan panas oleh tubuh ternak.   Churng (2002) menyatakan bahwa beberapa upaya pengurangan panas yang dapat dilakukan oleh sapi perah antara lain berteduh, mengurangi konsumsi pakan, memperbanyak minum, peningkatan frekuensi respirasi, meningkatkan produksi saliva dan keringat, serta mengeluarkan urin.   Pengukuran temperatur tubuh dimaksudkan untuk mengetahui temperatur dalam tubuh ternak.   Rumetor (2003) menyatakan bahwa  temperatur tubuh akan meningkat apabila ternak tidak dapat menjaga kondisi tubuhnya melalui pernafasan dan denyut jantung pada saat terjadi perubahan temperatur dan kelembapan lingkungan.

4.2.2. Denyut nadi
Rerata denyut nadi adalah sebesar 60,8 kali/menit.  Hasil ini masih tergolong dalam kondisi normal.  Hal ini sesuai dengan pendapat Suherman et al. (2013) bahwa kisaran denyut nadi normal untuk sapi perah antara 50 - 80 kali/menit, faktor yang mempengaruhi frekuensi denyut nadi adalah suhu lingkungan. Menurut
Budianto (2012) faktor yang dapat mempengaruhi denyut nadi adalah konsumsi pakan, umur, aktivitas otot, kebuntingan, stress dan suhu udara.

4.2.3. Frekuensi nafas
Rerata frekuensi nafas adalah sebesar 36,9 kali/menit.  Hasil ini menunjukan indikasi tidak normal dalam pemeliharaan sapi PFH.  Hal ini sesuai dengan pendapat Utomo et al. (2009) yang menyatakan bahwa frekuensi pernafasan sapi dalam keadaan normal berkisar 10 – 30 kali/menit.  Perubahan frekuensi pernafasan sejalan dengan peningkatan suhu udara, hal tersebut menyebabkan ternak meningkatkan frekuensi pernafasan untuk melepaskan panas. Menurut Nainggolan (2013) faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya frekuensi nafas antara lain adalah ukuran tubuh, umur, aktifitas ternak, suhu lingkungan, kesehatan ternak, dan posisi ternak.

4.2.4. Konsumsi air minum
Berdasarkan Tabel 4. diperoleh hasil bahwa jumlah konsumsi air minum selama pemeliharaan satu hari adalah sebesar 22,1 liter.  Jumlah konsumsi air minum menunjukan nilai konsumsi air tergolong rendah.  Jumlah konsumsi air dipengaruhi oleh faktor temperatur lingkungan dan cekaman yang terjadi pada ternak, penurunan atau kenaikan konsumsi air minum dipengaruhi oleh suhu lingkungan, jumlah makanan, produktivitas dan suhu tubuh.  Sapi perah meningkatkan konsumsi air minum saat suhu lingkungan berada di atas suhu nyaman tubunya, sedangkan ketika suhu lingkungan berada di bawah suhu nyaman maka konsumsi air minum akan mengalami penurunan. Konsumsi air minum akan menentukan produksi susu sapi perah.  Siregar (1996) menyatakan bahwa konsumsi air minum untuk sapi hanya berkisar antara 30 - 40 liter per hari.  Ditambahkan Muljana (1987) menyatakan bahwa kelembapan udara, suhu lingkungan dan ukuran tubuh sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya jumlah konsumsi air minum pada sapi perah.



Pengisian ke-
Volume (L)
Jam Pengisian
1
1,3
18.46
2
1,3
21.30
3
1,3
00.15
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1,3
1,3
1,3
1,3
7,8
1,3
1,3
1,3
1,3
07.05
07.20
08.00
09.00
10.20
14.13
15.01
15.55
17.50
Total
22,1

Sisa
0




Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.


4.2.5. Frekuensi urinasi dan defekasi
 Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa frekuensi urinasi selama 24 jam sebanyak 9 kali, frekuensi urinasi selama 24 jam adalah normal karena dipengaruhi oleh lingkungan dan banyaknya air yang diminum oleh ternak tersebut.  Hal ini sesuai dengan pendapat Robichaud et al.  (2011) menyatakan bahwa sapi perah mampu berurinasi selama 24 jam sebanyak 3 kali sampai 19 kali.  Frekuensi urinasi dipengaruhi oleh suhu lingkungan yang berkaitan dengan konsumsi air minum pada sapi perah.  Emberston et al.  (2009) yang menyatakan bahwa hewan ternak frekuensi urinasi dan defekasi dipengaruhi oleh suhu kandang, lingkungan dan pakan, biasanya frekuensi dan defekasi akan berhenti atau mencapai titik terendah ketika ternak beristirahat dan frekuensinya akan naik ketika waktu makan. 
Frekuensi defekasi selama 24 jam terjadi 11 kali defekasi, frekuensi defekasi tersebut adalah normal karena standar defekasi normal yaitu 3 – 18 kali dalam sehari.  Hal ini dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan pemberian pakan.  Hal ini sesuai dengan pendapat Robichaud et al.  (2011) yang menyatakan bahwa frekuensi defekasi selama 24 jam pada sapi perah terjadi sebanyak 3 sampai 18 kali dalam sehari, frekuensi defekasi yang lebih rendah dari normal disebabkan karena suhu lingkungan yang cukup tinggi sehingga ternak akan banyak minum.  menurut pendapat
Vaughan et al.  (2014) yang menyatakan bahwa defekasi akan meningkat diwaktu jam–jam pemerahan dan pemberian pakan. 

No.
Waktu Urinasi
Waktu Defekasi
1.
20.14
20.14
2.
22.07
22.01
3.
03.12
01.30
4.
08.20
07.05
5.
10.30
08.00
6.
10.53
09.55
7.
14.44
11.50
8.
15.49
12.10
9.

12.26
10.

15.51
11.

17.10



Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.

4.3. Anatomi Biologis Ambing

            Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil bahwa anatomi ambing terdiri dari anatomi eksterior dan interior. Anatomi eksterior ambing terdiri dari outer wall, medial suspensory ligament, lateral suspensory ligament, membrane vine, bulu, dan puting. Anatomi interior ambing terdiri dari alveoli, gland cistern, teat cistern, annular fold dan teat meatus.
            Ilustrasi 2. Bagian-bagian Eksterior Ambing

1430326620636.jpg
1430326623340.jpg
6
 
5
 
4
 
3
 
2
 
1
 
Keterangan
1. Outer wall
2. Bulu
3. Puting
4. Medial suspensory ligament
5. Membran vine
6. Lateral suspensory ligament

           

Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil bahwa ambing terbagi menjadi 4 kuartir. Kuartir kanan dan kiri dibatasi oleh medial suspensory ligament yang membagi kuartir kanan dan kiri menjadi simetris sehingga mampu memproduksi susu dengan optimal. Kuartir depan dan belakang dibatasi oleh membrane vine. Lateral suspensory ligament berfungsi untuk menjaga keseimbangan ambing dan menjaga ambing agar ambing tetap menempel pada ambdomen. Bagian terluar dari ambing terdapat outer wall yang berfungsi melindungi ambing sehingga ambing teta terlindungi,seluruh bagian terluar ambing tertutup oleh bulu kecuali pada bagian putingnya. Bulu tersebut berfungsi untuk pengaturan suhu ambing dan proteksi terhadap bakteri yang masuk ke ambing, sehingga tidak terdapat mikroba yang masuk ke dalam ambing melalui puting yang dapat mengakibatkan penurunan kualitas susu yang di produksi dan dapat mengakibatkan penyakit mastitis pada sapi perah.  Bagian luar juga terdapat puting atau biasa disebut teat meatus yang berfungsi  sebagai saluran pengeluaran susu setelah susu ditampung pada teat cistern.  Hal ini sesuai dengan pendapat Blakely dan Bade (1994) yang menyatakan bahwa ambing terbagi menjadi empat kuartir yang masing-masing berfungsi memproduksi susu secara mandiri. Sangbara (2011) menambahkan bahwa ambing sapi perah terbagi menjadi dua bagian yaitu ambing kiri dan ambing kanan yang oleh membrane yang tebal yang disebut medial suspensory ligament. Ambing kiri dan kanan masing-masing terbagi menjadi dua kuartir yaitu kuartir depan dan kuartir belakang yang setiap kuartir mempunyai satu puting susu.


Ilustrasi 3. Bagian-bagian Interior Ambing

20150426_151916.jpg
4
 
5
 
2
 
3
 
1
 
7
 
6
 
Keterangan :
1. Alveoli
2. Milk ductus
3. Gland cistern
4. Teat cistern
5. Annular fold
6. Streak canal
7. Teat meatus
           
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil bahwa bagian-bagian interior ambing terdiri dari alveoli, lumen, myoepithel, gland cistern, teat cistern, annular fold, streak canal dan teat meatus. Alveoli berfungsi sebagai struktur utama penghasil susu, kumpulan dari alveoli disebut lobulus, dan lobulus yang bersatu disebut lobus. Lumen berfungsi sebagai tempat awal penampungan susu, setelah ditampung pada lumen susu kemudian ditampung pada gland cistern,dan sebelum dikeluarkan melalui puting susu terakhir ditampung pada teat cistern. Myoepithel berfungsi untuk menyerap nutrisi dari darah menuju sel sekretoris ambing. Annular fold mengatur terbuka dan tertutupnya teat meatus sebagai tempat keluarnya susu. Hal ini sesuai dengan pendapat Blakely dan Bade (1994) yang menyatakan bahwa susu disekresikan oleh unit sekretoris yang disebut alveoli, alveoli terdiri dari suatu lapis dalam sel-sel epitel yang menyelubungi suatu rongga yang disebut lumen. Sel epitel menyerap zat-zat darah dan mensintesisnya menjadi susu.
Pembentukan susu dan biosintesis susu pada ambing diproduksi di alveoli oleh kelenjar susu. Hal ini sesuai dengan pendapat Rusdiana dan Sejati (2009) yang menyatakan bahwa di dalam ambing terdapat kumpulan alveoli yang memiliki kemampuan untuk memproduksi susu. Susu yang diproduksi alveoli akan meningkat apabila ambing dalam keadaan kosong, sebaliknya susu yang diproduksi alveoli akan menurun apabila ambing telah terisi penuh. Biosintesis susu yang terjadi pada ambing meliputi biosintesis protein, lemak dan laktosa. Hal ini sesuai dengan pendapat Aisyah (2011) yang menyatakan biosintesis susu meliputi sintesis protein, sintesis lemak dan sintesis laktosa. Bahan baku  untuk sintesis protein adalah asam amino bebas, plasma protein, dan peptide. Protein susu disintesis oleh ambing, sedangkan untuk pembentukannya merupakan dari penggabungan-penggabungan asam amino. Proses sintesis air susu terjadi pada sekretoris bagian ribosom dikontrol oleh gen-gen yang mengandung bahan genetik (DNA). Sintesis protein meliputi 3 proses yaitu replikasi DNA, transkripsi DNA menjadi RNA dan translasi RNA menjadi protein. Musnandar (2011) menambahkan pencernaan selulosa dan hemiselulosa yang banyak terdapat pada hijauan, paling banyak diproduksi oleh mikroba rumen adalah asam asetat dan kemudian asam propionat. Asam asetat langsung dapat digunakan oleh kelenjar susu untuk sintesis asam lemak susu. Tiga puluh dua persen dari asam propionat yang diproduksi di rumen digunakan untuk sintesis glukosa.
Ilustrasi 4.  Diagram Alir Proses Pengeluaran Susu
 












           
 









            Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
4.4. Berat Jenis Susu

            Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diperoleh data sebagai berikut :

No
Parameter
Susu Segar
Susu Olahan
1
Waktu pemerahan
05.00 WIB
-
2
Jumlah susu (ml)
450
500
3
BJ susu
1,0297
1,0216

            Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015. 


            Berdasarkan Tabel 6. diketahui bahwa berat jenis merupakan salah satu uji yang digunakan untuk menentukan kualitas dari susu.  Susu segar memiliki berat jenis susu sebesar 1,0297, sedangkan susu UHT memiliki berat jenis sebesar 1,0216. Berat jenis susu segar berada diatas standar, sedangkan berat jenis susu UHT berada dibawah standar.  Hal ini sesuai dengan pendapat Miskiyah (2011) yang menyatakan bahwa standar berat jenis susu standar sebesar 1,028.  Susu segar memiliki berat jenis lebih besar dibandingkan dengan susu UHT karena kemungkinan total solid (lemak) pada susu segar lebih rendah dibandingkan dengan susu UHT yang telah mengalami pengolahan.  Semakin tinggi kadar lemak yang terkandung, akan menyebabkan berat jenis susu semakin menurun.  Hal ini sesuai dengan pendapat Mardalena (2008) yang menyatakan bahwa  berat jenis susu berbanding terbalik degan jumlah kadar lemak susu, jika kadar lemak susu tinggi maka berat jenis susu semakin rendah, begitu juga apabila kadar lemak susu rendah maka berat jenis susu meningkat.  Hal tersebut diperkuat dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ismanto et al. (2013) yang menyatakan bahwa semakin lama penyimpanan susu, maka berat jeni susu semakin meningkat.

4.5. Recording

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilaksanakan, diperoleh data bahwa sapi No.  2031 berjenis kelamin betina, berumur 4,5 tahun.  Awal laktasi bulan Oktober memproduksi susu 94 liter, bulan November memproduksi 89 liter, bulan Desember memproduksi 73,5 liter dan bulan Januari memproduksi 98 liter dengan rata-rata produksi 34 liter/hari.  Pada tanggal 3 Februari 2014 pernah sukses melakukan Inseminasi Buatan dengan no.  straw dan bangsa 306055 / 1000, asal straw Ungaran, Inseminator 7248.  Sapi perah yang berada di kandang Fakultas Pertenakan dan Pertanian menggunakan recording yang belum baik, semua data yang dimiliki mengenai ternak tidak dilakukan pencacatan dengan rapi, sehingga data yang diperoleh belum valid.  Pencacatan identifikasi pada ternak perlu dilakukan dengan mencatat semua data dan informasi yang bersangkutan dengan sapi tentang nomor dan nama ternak, nomor registrasi, tanggal lahir dan jenis kelamin.  Hal ini sesuai dengan pendapat Indrijani dan Anang (2002) menambahkan bahwa recording merupakan salah satu sistem pencatatan yang efisien karena pencatatan dapat dilakukan dengan lebih sederhana tetapi cukup akurat untuk digunakan dalam pendugaan kurva produksi ataupun nilai pemuliaan. Nena (2005) menambahkan bahwa recording terutama dilakukan pada peternakan besar harus diarahkan kepada seleksi berdasarkan nilai pemuliaan ternak agar kemajuan genetiknya lebih cepat dan terkontrol.







BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Fisiologi lingkungan akan berpengaruh pada fisiologi ternak.  Lingkungan yang panas membuat ternak tidak nyaman sehingga mempengaruhi keadaan fisiologisnya yang berpengaruh terhadap produksi susu baik kualitas maupun kuantitasnya. Aspek lain selain fisiologi lingkungan dan fisiologi ternak, perkandangan yang baik akan memberikan kenyamanan bagi ternak sehingga produktivitas ternak dapat maksimal.  Berat jenis susu menentukan kualitas baik buruknya susu. 

5.2. Saran

Praktikum yang dilakukan seharusnya preparat ambing yang digunakan  diperbanyak sehingga praktikan dapat lebih mengerti tentang anatomi ambing, sanitasi kandang perlu ditingkatakan lagi, agar produksi sapi perah dapat meningkat. Waktu praktikum di laboratorium diperpanjang sehingga materi anatomi biologis ambing dan berat jenis susu dapat tersampaikan seluruhnya.




DAFTAR PUSTAKA

Affandi, A.  A.  2009.  Pengaruh umur terhadap heat tolerance coeefficient dan pertambahan bobot badan dengan pemberian pakan serat kasar rendah pada sapi PFH jantan (Peranakan Friesian Hollstain jantan).  Universitas Brawijaya,  Malang.  (Skripsi).

Aisyah, S. 2011. Tingkat produksi susu dan kesehatan sapi perah dengan pemberian Aloe barbadensis miller. J. GAMMA 7 (1):50 - 60.

Akoso, B.T. 2008. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.

Anderson, B.  E.  1983.  Temperature Regulation and Environmental Physiology.  In: Dukes’ Physiology of Domestic Animal.  10th ed.  M.  J.  Swenson (Ed).  Cornell Univ.  Press.  P.  719 - 726. 

Arnold, J.  Palulungan, Adiarto, dan Tetik Hartatik.  2013.  Pengaruh Kombinasi Pengkabutan dan Kipas Angin Terhadap Kondisi Fisiologis Sapi Perah Peranakan Friesian Holland. J. Buletin Peternakan 37 (3): 189 – 197.

Blakely, J dan Bade, D. H. 1994. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh Ir. Bambang Srigondo, MSc dan Dr. drh. Soedarsono, MS).

Budianto, A. 2012. Respon Pertumbuhan Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) Jantan Terhadap Pemberian Berbagai Aras Ampas Bir dalam Pakan Konsentrat. Universitas Diponegoro, Semarang. (Tesis)

Churng-faung lee.  2002.  Feeding management and strategies for lactating dairy cows under heat stress.  International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle.  Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26th – 31th, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.

Dewan Standarisasi Nasional.  1998.  SNI 01.,.3141.  Metode Pengujian Susu Segar.  Badan Standarisasi Nasional.  Jakarta.  Dalam Utomo, B dan Miranti, D.  P.  2010.  Tampilan produksi susu sapi perah yang mendapat perbaikan manajeman pemeliharaan.  Caraka Tani.  25 (1) : 55-67.

Embertson, M.  N.  M., P.  H.  Robinson, J.  G.  Fadel and F.  M.  Mitloehner.  2009.Effects of shade and sprinklers on performance, behavior, physiology,and the environment of heifers.  J.  Dairy Sci.  92 : 506 – 517.
Frandson, R.D.  1992.  Anatomi dan Fisiologi Ternak.  Edisi ke-4.  Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh Bambang Srigandono dan Praseno K)

Frandson, R.  D., W.  L.  Wilke and A.  D.  Fails.  2009.  Anatomy and Physiology of Farm Animals.Wiley-Blckwell,  Lowa.

Indrijani, H dan Anang, A. 2002. Evaluasi genetic produksi susu pada sapi perah dengan model regresi tetap. J. Ilmu Ternak. 1  : 45 - 50

Ismanto, Toto., S.  Utami dan H.  A.  Suratim.  2013.  Pengaruh lama penyimpanan dalam refrigator terhadap viskositas susu kambing pasteurisasi.  J.  Ilmiah Peterakan.  1 (1) : 69 - 78.

Lawrence T.L.J. and  Fowler. V. R. 2002. Growth of Farm Animals. CABI Publishing. Oxfordshire.

Legowo, A. M., Kusrahayu dan Mulyani, Sri. 2009. Ilmu dan Teknologi Susu. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Makin, M.  2011.  Tata Laksana Peternakan Sapi Perah.  Graha Ilmu, Yogyakarta.

Mardalena, 2008. Pengaruh wakru pemerahan dan tingkat laktasi terhadap kualitas susu sapi perah peranakan Fries Holstein. J. Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan
11(3) : 107 – 111.

Miskiyah. 2011. Kajian standar nasional Indonesia susu cair di Indonesia. J. Standarisasi 13 (1): 88 - 98

Mukhtar, A. 1997. Ilmu Produksi Ternak Perah. Universitas Sebelas Maret Press, Surakarta.

Muljana, B. A. 1987. Pemeliharaan dan Kegunaan Ternak Perah. Aneka Ilmu, Semarang.

Musnandar, E. 2011. Efisiensi energi pada sapi perah Holstein yang diberi berbagai imbangan rumput dan konsentrat. J. Penelitian Universitas Jambi Seri Sains 13 (2): 53 - 58.


Nainggolan, Y. D. A. 2013. Studi Eksploratif  Upaya Kesehatan Sapi Potong Peranakan Ongole (PO) oleh Peternak Di Kecamatan Halongonan Kabupaten Padang Lawas Utara Sumatera Utara. Institut Pertanian Bogor. (Skripsi).

Nena, H. 2005 Pendugaan nilai pemuliaan produksi susu sapi Fries Holland berdasarkan catatan bulan tunggal kumulatif di Taurus Dairy Farm. J. Ilmu Ternak 5 (2) : 80 – 87.

Nelson, M.  G.  2010.  The Complete Guide to Smallscale Farming: EverythingYou Need to Know about Raising Beef and Dairy Cattle, Rabbits, Ducks,and Other Small Animals.  Atlantic Publishing Company, Florida

Nurliyani. 2003. Komposisi kimia dan profil protein susu kuda pada SDS page ( Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrylamide Gel Electrophoresis) J. Buletin Peternakan 27 (2) : 86 – 93.

Nurhadi, M.  2010.  Dimensi sosiologis dalam upaya meningkatkan kualitas susu sapi perah (Studi Kasus di KUD Jatinom, Kabupaten Klaten).  Jurnal Sosiologi. 
25 (2): 79 – 90.
.
Palulungan, J.  A., Adiarto dan Hartatik.  T.  2013.  Pengaruh kombinasi pengkabutan dan kipas angin terhadap kondisi fisiologis sapi perah Peranakan Friesian Holstein.  Buletin Peternakan.  37 (3) : 189 – 197.
Prasetya H.  2012.  Prospek Cerah Beternak Sapi Perah. Pustaka Baru Press. Sleman Yogyakarta:
Pujiati, S. R. dan T. H. Indrianto. 2009. Perbedaan kandungan bakteriologis susu segar ditinjau dari pemakaian desinfektan dan tanpa desinfektan pada ambing sapi sebelum pemerahan. J. IKESMA 5 (1) : 31 - 45

Robichaud, M.V., A.  M.  de Passillé, D.  Pellerin and J.  Rushen.  2011.  When and  where do dairy cows defecate and urinate.  J.  Dairy Sci.  94:4889 – 4896.

Rumetor, S.D.  2003.  Stres Panas Pada Sapi Perah Laktasi.  Makalah Falsafah Sains.  Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rusdiana, S dan W. K. Sejati. 2009.  Upaya pengembangan agribisnis sapi perah  dan peningkatan produksi susu melalui pemberdayaan koperasi susu. J. Forum Penelitian Agro Ekonomi 27 (1): 43 – 51.

Sangbara, Y. 2011. Pengaruh Periode Laktasi Terhadap Produksi Susu Pada Sapi Perah  Fries Holland di Kabupaten Enrekang. Universitas Hasanuddin, Makasar. (Skripsi)
Sawitri M.E.  2012.  Kajian konsentrasi kefir grain dan lama simpan dalam refrigerator terhadap kualitas kimiawi kefir rendah lemak.  Jurnal Ilmu-ilmu Peternakan.  2 (1): 89 - 99.
Siregar, S. B. 1996. Konsep Peraturan Makanan Ternak Tentang Standar Makanan Sapi Perah. Usaha Angkasa, Bandung.
Soetarno, T.  2003.  Manajemen Budidaya Sapi Perah.  Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Suherman, D., B. P.Purwanto., W. Manalu dan Permana. 2013. Simulasi artificial network untuk menentukan suhu kritis pada sapi perah Fries Hollamd berdasarkan respon fisiologis. J. ITV 18 (1): 70 - 80.

Supriyati.  2008.  Pengaruh suplementasi probiotik dalam peningkatan produksi dan kualitas susu sapi perah di tingkat peternak.  Prosiding ‘Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020.  Puslitbangnak bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia.  Jakarta.

Sutopo. 2001. Pengaruh Pemberian PMSG Terhadap Pertumbuhan Ambing Ban Prqeiiukse Susu Pada Sapi Perah. Universitas Diponegoro, Semarang. (Tesis)
Syarif dan H.  Bagus.  2011.  Beternak dan Bisnis Sapi Perah. PT.  Agromedia Pustaka, Jakarta.

Talib, C. H., T.  Sugiarti and A. R.  Siregar.  2002.  Friesian Holstein and their adaptability to the tropical environment in Indonesia.  International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle.  Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26th – 31th, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.

Utomo. B., D. P. Miranti., dan G. C. Intan. 2009. Kajian Termoregulasi Sapi Perah Periode Laktasi dengan Introduksi Teknologi Peningkatan Kualitas Pakan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 263 – 268.

Utomo, B dan D. P. Miranti. 2010.  Tampilan produksi susu sapi perah yang mendapat perbaikan manajeman pemeliharaan.  Caraka Tani.  25 (1): 55 - 67.

Vaughan Alison, Anne Marie de Passillé, Joseph Stookey, and Jeffrey Rushen.  2014.  Urination and defecation by group-housed dairy calves.  J.  DairySci.  97: 1 –  7

Wardyaningrum, D. 2011. Tingkat kognisi tentang konsumsi susu pada ibu peternak sapi perah Lembang Jawa Barat. J. Al Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial. 1 (1) : 19 – 26.
Winarso, D.  2008.  Hubungan kualitas susu dengan keragaman genetik dan prevalensi mastitis subklinis di daerah jalur susu Malang sampai Pasuruan.  J.  Sain Vet.  26 (2): 58 - 65. 

Yani, A.  dan  Purwanto. B., P.  2006.  Pengaruh iklim mikro terhadap respons fisiologis sapi peranakan friesian Holstein dan modifikasi lingkungan untuk meningkatkan produktivitasnya.  J. Media Peternakan 29 (1): 35 – 46.

Yani, A., Suhardiyanto., H. Hasbullah dan B. P.  Purwanto. 2007.  Analisis dan simulasi distribusi suhu udara pada kandang sapi perah menggunakan Computational Fluid Dinamics (CFD). J. Media Peternakan 3 (3): 218 – 228.



Lampiran 1.  Perhitungan Radiasi Matahari

1.                  Pukul 18.00 WIB
BGT = 24,5
R=T4
  = 4,903 x 10-8(24,5 + 273)4
  = 384.07 Kcal/m2/jam


2.                  Pukul 24.00 WIB
BGT = 24
R=T4
  = 4,903 x 10-8(24 + 273)4
  = 381,49 Kcal/m2/jam

3.                  Pukul 06.00 WIB
BGT = 24
R=T4
  = 4,903 x 10-8(24 + 273)4
  = 381,49 Kcal/m2/jam

4.                  Pukul 12.00 WIB
BGT = 28,5
R=T4
  = 4,903 x 10-8(28,5 + 273)4
  = 405,14 Kcal/m2/jam

5.                  Pukul 18.00 WIB
BGT = 26
R=T4
  = 4,903 x 10-8(26 + 273)4
  = 391.87 Kcal/m2/jam

Rata-rata = 388,81 Kcal/m2/jam


Lampiran 2.  Perhitungan Berat Jenis Susu

  1. Susu Segar
Berat Jenis = Berat jenis terukur – (27,5 – T) x 0,0002
                    = 1,030 – (27,5 – 26) x 0,0002
                    = 1,0297

  1. Susu UHT
Berat Jenis = Berat jenis terukur – (27,5 – T) x 0,0002
                    = 1,022 – (27,5 – 25,5) x 0,0002
                    = 1,0216

     













Lampiran 3.  Dokumentasi Praktikum
       
              Foto Kelompok III                                 Pengukuran Berat Jenis Susu

     

            Pengukuran Denyut Nadi                           Pengukuran Frekuensi Nafas






Tidak ada komentar:

Posting Komentar